AS Soroti Kebijakan Impor Indonesia yang Dinilai Inkonsisten dan Membingungkan

Amerika Serikat Kritik Regulasi Impor Indonesia yang Dinilai Tidak Konsisten

Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) baru-baru ini merilis laporan yang menyoroti berbagai hambatan perdagangan yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan AS di berbagai negara, termasuk Indonesia. Laporan bertajuk "2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers" tersebut mengungkapkan kekhawatiran serius mengenai inkonsistensi dan perubahan regulasi impor di Indonesia yang dinilai merugikan para pelaku usaha.

USTR menyoroti bahwa perubahan peraturan yang terlalu cepat dan kurangnya sosialisasi menjadi sumber utama masalah. Perusahaan-perusahaan AS mengeluhkan kesulitan beradaptasi dengan perubahan yang seringkali mendadak dan tanpa pemberitahuan yang memadai. Hal ini menyebabkan kebingungan, penundaan, dan bahkan kerugian finansial.

Contoh Kasus: Perpres Nomor 61 Tahun 2024

Laporan tersebut mengutip Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 Tahun 2024 sebagai contoh konkret. Awalnya, peraturan ini membatasi impor hanya pada lima komoditas pangan utama, yaitu gula, beras, ikan, daging, dan garam. Namun, secara tiba-tiba, cakupan pembatasan diperluas menjadi 19 komoditas, termasuk produk-produk non-pertanian. Perubahan ini, menurut USTR, dilakukan tanpa sosialisasi yang memadai, membuat para pengusaha AS yang terbiasa mengekspor produk pertanian ke Indonesia merasa kebingungan dan terpaksa bergegas mengurus izin impor baru.

Akibatnya, banyak kontainer barang tertahan di pelabuhan karena perusahaan harus menyelesaikan proses perizinan sesuai dengan aturan yang baru. Hal ini menyebabkan kerugian finansial yang signifikan bagi para eksportir AS.

"Perluasan pembatasan impor ke produk baru dengan sedikit sosialisasi, sementara implementasinya tidak konsisten, telah menyebabkan seringnya terjadi keterlambatan dalam memperoleh izin impor," tulis USTR dalam laporannya.

Permendag 36/2023 dan Dampaknya

USTR juga menyoroti Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023 sebagai contoh lain dari regulasi yang berubah dengan cepat dan kurang disosialisasikan. Permendag ini memperkenalkan persyaratan tambahan untuk mendapatkan izin impor bagi hampir 4.000 kode Harmonized System (HS), sebuah sistem klasifikasi barang internasional yang digunakan oleh bea cukai.

Beberapa persyaratan dianggap sulit dipenuhi, seperti keharusan importir untuk menyediakan data komersial yang ekstensif dan memperoleh persetujuan teknis dari kementerian terkait. Meskipun Permendag ini kemudian direvisi melalui Permendag Nomor 3 Tahun 2024 dan Permendag Nomor 7 Tahun 2024, dampaknya tetap terasa. Banyak peti kemas tertahan di pelabuhan-pelabuhan utama Indonesia pada awal Mei 2024, menyebabkan kekacauan dan penumpukan barang.

Tumpang Tindih Regulasi dan Kompleksitas Perizinan

Selain inkonsistensi dan perubahan yang cepat, USTR juga mengkritik kompleksitas dan tumpang tindihnya regulasi ekspor-impor di Indonesia. Salah satu contoh yang disoroti adalah sistem Angka Pengenal Importir (API) dan Nomor Induk Berusaha (NIB).

Kementerian Perdagangan mengharuskan perusahaan untuk memiliki API, baik API-U untuk distributor maupun API-P untuk produsen. API-P memungkinkan perusahaan mengimpor produk jadi untuk tujuan pengujian pasar, layanan purna jual, penyempurnaan produk, dan produk baru. Namun, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2021 juga mewajibkan importir untuk memiliki NIB, yang dapat diperoleh secara daring melalui Online Single Submission (OSS). NIB ini berfungsi sebagai lisensi impor yang sah dan dapat menggantikan API-U atau API-P.

USTR berpendapat bahwa aturan perizinan impor ini justru saling tumpang tindih dan menambah kerumitan. Perusahaan melaporkan bahwa OSS malah menambah kompleksitas dan menyebabkan penundaan karena masalah teknis dan kurangnya integrasi sistem.

"Perusahaan melaporkan bahwa OSS malah menambah kompleksitas dan menyebabkan penundaan karena seringnya masalah teknis dan kurangnya integrasi sistem," tulis USTR.

USTR juga mencatat bahwa meskipun perusahaan dapat mengajukan permohonan penyelesaian ketika barang yang diimpor tiba di Indonesia, pemerintah Indonesia membatasi permohonan hanya kepada mereka yang memiliki lisensi NIB dan API, sehingga menimbulkan kendala bagi perusahaan yang hanya memiliki NIB melalui OSS.

Secara keseluruhan, laporan USTR menyoroti perlunya reformasi regulasi impor di Indonesia untuk menciptakan lingkungan perdagangan yang lebih stabil, transparan, dan mudah diprediksi. Hal ini penting untuk menarik investasi asing dan meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global.