Kontroversi Penetapan Tersangka Direktur JAK TV: Pukat UGM Soroti Perlunya Bukti Kuat Obstruction of Justice

Polemik Penetapan Tersangka Direktur JAK TV: Ahli Hukum Pertanyakan Dasar Obstruction of Justice

Penetapan Direktur Pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar (TB), sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) berbuntut panjang. Pasal yang disangkakan, yakni Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tentang perintangan penyidikan atau obstruction of justice, menuai kritik dari berbagai pihak. Zaenur Rohman, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), menjadi salah satu suara yang mempertanyakan dasar hukum penetapan tersebut.

Zaenur Rohman menekankan perlunya Kejagung untuk membuktikan bahwa tindakan Tian Bahtiar benar-benar menghambat proses penegakan hukum. Menurutnya, tidak serta merta upaya mempengaruhi opini publik melalui pemberitaan dapat dikategorikan sebagai obstruction of justice. "Apakah ketika seorang tersangka itu berusaha untuk memengaruhi pendapat publik dengan melakukan upaya-upaya untuk menyebarkan informasi kasus yang sedang dialaminya, itu kemudian bisa berujung pada obstruction of justice? Saya lihat belum tentu,” ujar Zaenur.

Ia menambahkan, penggunaan dana untuk mempengaruhi media agar memberitakan hal yang menguntungkan diri sendiri dan mendiskreditkan proses hukum juga belum tentu memenuhi unsur obstruction of justice. Menurutnya, perbuatan tersebut harus secara sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan proses penegakan hukum sejak tahap penyidikan, penuntutan, hingga persidangan.

Zaenur memberikan contoh kasus yang lebih jelas terkait obstruction of justice, yakni ketika seorang tersangka membayar media atau jurnalis untuk terus menerus menyudutkan saksi yang memberatkan. Akibatnya, saksi tersebut menjadi takut dan enggan memberikan kesaksian, sehingga menghambat penyidikan. Dalam kasus Tian Bahtiar, Zaenur menegaskan bahwa Kejagung harus memiliki bukti yang kuat bahwa pemberitaan yang dilakukan telah mengganggu aspek penegakan hukum.

"Seharusnya kan yang menjadi poin obstruction of justice adalah merusak alat bukti, kemudian membantu melarikan diri, membantu merusak alat bukti. Tapi, kalau membangun opini media dengan cara membeli awak media atau pejabat media, menurut saya itu belum tentu merupakan obstruction of justice,” jelasnya.

Zaenur mengingatkan bahwa penetapan tersangka dengan pasal obstruction of justice harus dilakukan secara hati-hati karena berpotensi mengancam kebebasan pers dan kebebasan berpendapat. Ia khawatir, jika pasal ini tidak digunakan dengan ketat, kritik terhadap penegakan hukum, gugatan dari pakar, ahli, atau LSM dapat terancam.

Tanggapan Kejaksaan Agung

Kejaksaan Agung melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum), Harli Siregar, menegaskan bahwa tindakan yang disangkakan kepada Tian Bahtiar merupakan tindakan pribadi dan tidak terkait dengan aktivitas jurnalistik maupun institusi media tempatnya bekerja. Harli juga menekankan bahwa yang menjadi perhatian Kejagung bukan soal pemberitaan, melainkan adanya permufakatan jahat untuk merintangi proses hukum yang sedang berjalan.

Lebih lanjut, Harli memastikan bahwa Kejagung menghormati otoritas Dewan Pers dalam menilai dan menangani persoalan etik atau dugaan pelanggaran dalam karya jurnalistik. Ia juga menyebutkan bahwa Dewan Pers memahami bahwa kasus ini terkait dengan penegakan hukum.

Pasal yang Disangkakan

Tian Bahtiar disangkakan dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2021 jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal 21 UU Tipikor berbunyi:

"Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)".

Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, menyatakan bahwa Tian diduga membuat berita berdasarkan pesanan dari Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saibih (JS), selaku advokat para tersangka kasus yang diusut oleh Kejagung. Tian diduga menerima uang sebesar Rp 478.500.000 untuk memuat konten negatif terkait Kejagung, tanpa sepengetahuan jajaran JAK TV.