Eksploitasi Anak di Sirkus: Mantan Pemain Mengadu ke DPR, Mengungkap Trauma Masa Lalu
Kisah pilu eksploitasi anak di dunia sirkus kembali mencuat ke permukaan. Lisa, seorang mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI), dengan berurai air mata menyampaikan pengaduannya di hadapan anggota dewan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Rabu (23/4/2025). Ia mengungkapkan bagaimana masa kecilnya dirampas dan dirinya dieksploitasi di bawah naungan Taman Safari.
Lisa, dengan nada suara bergetar, menceritakan awal mula pahitnya. Pada tahun 1976, saat usianya masih sangat belia, ia 'diambil' dari keluarganya oleh Jansen Manansang, pendiri OCI, dan istrinya. Lisa mengaku tidak memahami sepenuhnya negosiasi yang terjadi saat itu. Yang ia ingat, dirinya dibawa dengan mobil oleh Jansen, melintasi jalan Balikpapan di kawasan Petojo, sebelum akhirnya tiba di lokasi sirkus.
Ketakutan menghantui Lisa kecil saat pertama kali melihat kerumunan anak-anak di sirkus. Ia merengek ingin pulang, namun permintaannya diabaikan. Lisa dipaksa masuk ke dalam karavan gelap yang membuatnya semakin ketakutan. Tangisan pilunya memanggil-manggil ibunya, hingga akhirnya kelelahan membuatnya tertidur.
Keesokan paginya, Lisa langsung dihadapkan pada kenyataan pahit. Ia dipaksa mengikuti latihan bersama anak-anak lain. Kekerasan menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pelatihan tersebut. Setiap kesalahan berujung pada pukulan, tamparan, tendangan, tonjokan, bahkan lemparan sandal kayu (bakiak) oleh Jansen. Lisa kecil tak henti-hentinya menangis, merindukan ibunya, namun usahanya sia-sia.
Waktu berlalu, Lisa mulai mencoba melupakan orang tuanya dan fokus pada latihan bersama teman-temannya. Namun, kenangan pahit tentang kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi terus membekas dalam ingatannya.
Ketika usianya menginjak 12 tahun, Lisa memberanikan diri meminta bantuan kepada Toni Sumampouw, Manajer Taman Safari Indonesia, untuk dipertemukan dengan keluarganya. Namun, Toni hanya memberikan janji kosong, mengatakan bahwa ia akan bertemu keluarganya pada waktu yang tepat. Penantian yang tak berujung terus menghantuinya.
Di usia 15 tahun, Lisa kembali memohon untuk bertemu orang tuanya. Namun, kali ini ia menerima kenyataan pahit yang menghancurkan hatinya. Ia diberitahu bahwa dirinya sebenarnya telah dijual oleh orang tuanya sendiri. Pengakuan ini membuatnya terpukul dan merasa kehilangan harapan.
"Setelah 15 tahun, saya juga minta lagi sama Ibu Jansen. Kami panggil dia Sausau, 'Sau, saya pengen ketemu orangtua saya. Di mana ortu saya?' Sausau terus bilang, 'kamu itu dijual. Kamu itu anak yang dijual'. Saya sedih saat itu," kata Lisa, dengan isak tangis.
Harapan Lisa untuk mendapatkan identitas diri juga pupus. Di usia 17 tahun, ia meminta KTP, namun usahanya sia-sia. Penolakan demi penolakan membuatnya merasa terasing dan tidak memiliki hak.
Saat berusia 19 tahun, Lisa menjalin hubungan asmara. Ia merasa tidak tahan lagi dengan kehidupan di sirkus dan ingin segera pergi. Lisa memberanikan diri meminta izin kepada Toni, namun permintaannya ditolak. Ia juga meminta identitas dirinya, namun Toni tidak mengabulkannya.
"Saya enggak kuat di sirkus. Saya izin baik-baik sama Toni saat itu. Saya minta identitas diri saya juga enggak dikasih. Dan pacar saya juga minta identitas saya, 'nih tunjukin, tok, ini namanya siapa? Ini apa? Akte kelahiran siapa. Lisa. Ada namanya. Lisa Manangsang. Saya minta boleh enggak? Enggak boleh. Enggak dikasih'. Toni bilang, 'enak saja kamu itu, saya yang pelihara, kok kamu yang ambil'," jelas Lisa.
Akhirnya, Lisa memutuskan untuk keluar dari sirkus dan tidak pernah kembali lagi. Ia mengungkapkan bahwa selama berada di sirkus, dirinya tidak pernah mendapatkan gaji, tidak disekolahkan, dan hanya diajarkan menulis dan menghitung secara terbatas oleh karyawati. Pengalaman traumatis ini meninggalkan luka mendalam dalam hidupnya.
Kisah Lisa menjadi bukti nyata tentang praktik eksploitasi anak yang masih terjadi di dunia sirkus. Pengaduannya di DPR diharapkan dapat membuka mata pemerintah dan masyarakat untuk lebih peduli terhadap nasib anak-anak yang menjadi korban eksploitasi dan kekerasan.