Terkuaknya Dugaan Korupsi dalam Kasus Kredit Macet Sritex: Investigasi Mendalam
Kabar pailitnya PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), raksasa tekstil Indonesia, telah mengguncang dunia perbankan dan industri. Di balik kebangkrutan tersebut, terkuak dugaan praktik korupsi dan manipulasi dalam pemberian kredit oleh sejumlah bank kepada Sritex. Proses pemberian kredit yang mencurigakan ini memicu pertanyaan mendasar: bagaimana mungkin sebuah perusahaan dengan kondisi keuangan yang tidak sehat dapat menerima kucuran dana pinjaman tanpa jaminan yang memadai?
Kejaksaan Agung telah memulai penyelidikan mendalam terhadap kasus ini. Fokus utama adalah menelusuri dugaan adanya pelanggaran dalam proses pemberian kredit, termasuk potensi pemalsuan dokumen keuangan, penggelembungan aset, dan tindak pencucian uang. Beberapa bank plat merah seperti Bank BJB, Bank Jateng, Bank DKI, hingga BNI disebut-sebut terlibat dalam kasus ini. Investigasi ini tidak hanya menyoroti aspek finansial, tetapi juga mempertanyakan tata kelola perusahaan, etika bisnis, dan integritas para pihak yang terlibat.
Dugaan Keterlibatan dan Manipulasi
Pada Maret 2019, PT Sritex menerima pinjaman sebesar Rp 554 miliar dari Bank Jabar Banten (BJB) tanpa memberikan jaminan apapun. Padahal, pada saat itu, kondisi keuangan Sritex sudah menunjukkan tanda-tanda kemunduran. Hal ini menimbulkan kecurigaan adanya kongkalikong antara manajemen Sritex dan oknum di dalam perbankan.
Dokumen penyelidikan awal mengindikasikan adanya praktik korupsi terstruktur, termasuk:
- Pemalsuan dokumen keuangan untuk mempercantik laporan keuangan Sritex.
- Penggelembungan nilai aset perusahaan untuk meningkatkan nilai pinjaman yang diajukan.
- Pencucian uang melalui transaksi keuangan yang kompleks dan tidak transparan.
Jika dugaan ini terbukti benar, maka kasus Sritex bukan hanya sekadar praktik korupsi biasa, tetapi juga merupakan bentuk sabotase terhadap sistem keuangan nasional.
Pertanyaan Terhadap Pengawasan
Kasus Sritex juga memunculkan pertanyaan tentang efektivitas pengawasan yang dilakukan oleh otoritas keuangan negara. Mengapa Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Bank Indonesia (BI) tidak mendeteksi adanya sinyal bahaya sejak awal? Kurangnya pengawasan yang ketat memungkinkan praktik-praktik koruptif ini berkembang dan merugikan banyak pihak.
Dampak Pailit Sritex
Sritex, yang pernah menjadi simbol kejayaan industri tekstil Indonesia dengan menyerap puluhan ribu tenaga kerja dan menembus pasar internasional, kini harus menghadapi kenyataan pahit. Pailitnya Sritex menyebabkan ribuan pekerja kehilangan pekerjaan, rantai pasokan terganggu, dan kepercayaan investor merosot tajam.
Total utang Sritex mencapai lebih dari Rp 32 triliun, tersebar di 28 bank nasional dan beberapa perusahaan multifinance. Banyak lembaga keuangan yang tampaknya mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam memberikan kredit kepada Sritex. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah mereka benar-benar abai, ataukah ada faktor lain yang mendorong mereka untuk tetap memberikan pinjaman?
Reformasi Sistemik Mendesak
Kasus Sritex harus menjadi momentum untuk melakukan reformasi sistemik dalam sistem pemberian kredit di Indonesia. Reformasi ini harus mencakup:
- Penguatan pengawasan OJK dan lembaga terkait.
- Peningkatan transparansi laporan keuangan bank-bank pelat merah.
- Penerapan sistem jejak digital untuk setiap pemberian kredit jumbo.
- Perombakan sistem rekrutmen di bank-bank negara untuk mencegah intervensi politik.
Kasus ini membuka mata kita tentang bagaimana mekanisme pemberian kredit dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Tekanan politik dan hubungan kroni sering kali menjadi faktor penentu dalam pemberian kredit besar kepada perusahaan berisiko tinggi. Bank yang seharusnya beroperasi berdasarkan prinsip bisnis yang sehat justru berubah menjadi alat untuk memenuhi agenda di luar logika keuangan.
Negara harus hadir untuk memulihkan keadilan dan memastikan bahwa para pelaku korupsi dihukum seberat-beratnya. Kasus Sritex adalah kegagalan sistem yang harus segera diatasi agar tidak terulang di masa depan. Dengan keberanian memotong benang kusut korupsi, kita dapat membangun sistem keuangan yang lebih transparan, akuntabel, dan berintegritas.