Dilema Optimalisasi Formasi CPNS 2024: Antara Efisiensi dan Hak Individu
Keputusan hampir dua ribu Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun 2024 untuk mengundurkan diri setelah dinyatakan lulus seleksi menimbulkan pertanyaan serius tentang efektivitas dan implikasi dari skema optimalisasi formasi yang diterapkan. Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Zudan Arif Fakrulloh, sebelumnya mengungkapkan bahwa 1.967 orang memilih mundur, meskipun telah melewati serangkaian tes dan dinyatakan memenuhi syarat. Mereka merupakan bagian dari sekitar 16.000 peserta yang lolos melalui mekanisme yang dirancang untuk mengisi kekosongan formasi di berbagai instansi pemerintah.
Skema optimalisasi formasi ini memungkinkan peserta yang tidak lolos di instansi pilihan pertama mereka, namun memenuhi kualifikasi untuk posisi serupa di instansi lain yang kekurangan pelamar, untuk dipindahkan secara otomatis. Sebagai contoh, seorang pelamar posisi dosen di sebuah universitas ternama yang berada di urutan ketiga, sementara formasi yang tersedia hanya untuk dua orang, dapat dipindahkan ke universitas lain di wilayah berbeda yang memiliki formasi kosong yang sesuai. Secara administratif, sistem ini diklaim berhasil mengisi sekitar 88% formasi yang sebelumnya tidak terisi. Namun, fenomena pengunduran diri massal ini mengindikasikan adanya permasalahan mendasar yang perlu dievaluasi lebih lanjut.
Implementasi skema optimalisasi formasi, meski tampak efisien dalam mengatasi kekurangan pegawai di berbagai daerah, memunculkan perdebatan mengenai dampaknya terhadap hak-hak individu dan prinsip-prinsip administrasi yang baik. Apakah para peserta CPNS yang terkena dampak skema ini diberikan kesempatan yang memadai untuk menyatakan persetujuan mereka terhadap penempatan baru? Ataukah penempatan tersebut dilakukan secara sepihak oleh sistem, tanpa memberikan ruang untuk negosiasi atau pertimbangan pribadi? Jika penempatan dilakukan tanpa adanya persetujuan yang informed dan sukarela, maka keputusan tersebut dapat dianggap cacat secara substantif, meskipun memenuhi aspek prosedural.
Dari perspektif hak asasi manusia, setiap individu memiliki hak untuk memilih pekerjaan dan mendapatkan penghidupan yang layak. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menjamin hak atas pekerjaan yang adil, kondisi kerja yang manusiawi, dan kebebasan dalam memilih pekerjaan. Skema optimalisasi formasi, jika diterapkan tanpa melibatkan partisipasi aktif dari para peserta, berpotensi melanggar hak untuk menentukan nasib sendiri.
CPNS bukanlah sekadar angka dalam perencanaan birokrasi. Mereka adalah individu dengan preferensi pribadi, kebutuhan keluarga, kemampuan adaptasi sosial yang berbeda-beda, dan keterikatan emosional terhadap lingkungan tempat tinggal mereka. Penempatan seorang peserta dari satu wilayah ke wilayah lain yang sangat berbeda secara geografis dan budaya, tanpa mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, dapat menimbulkan masalah serius.
Pandangan dari sudut pandang antropologi juga penting untuk dipertimbangkan. Pekerjaan bukan hanya sekadar alat untuk mencari nafkah, tetapi juga merupakan bagian integral dari identitas sosial dan budaya seseorang. Di Indonesia, keterikatan terhadap keluarga besar, adat istiadat, dan jaringan sosial lokal sangatlah kuat. Pemindahan kerja yang tidak memperhatikan dimensi budaya ini dapat menyebabkan alienasi, isolasi sosial, dan penurunan motivasi kerja.
Dalam budaya Jawa, prinsip "rukun" atau keharmonisan sosial sangat dijunjung tinggi. Demikian pula, dalam budaya Minangkabau, sistem matrilineal dan nilai kekerabatan yang kuat memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan. Penempatan kerja yang tidak sensitif terhadap nilai-nilai budaya ini dapat merusak tatanan sosial yang selama ini menjadi fondasi stabilitas masyarakat.
Oleh karena itu, pemerintah, khususnya BKN, perlu mengembangkan model optimalisasi yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Model ini harus memberikan ruang bagi peserta untuk memberikan klarifikasi, negosiasi, dan bahkan mengajukan keberatan terhadap penempatan yang tidak sesuai dengan preferensi atau keadaan mereka.
Pemerintah juga perlu menyediakan dukungan adaptasi dan kebijakan insentif atau kompensasi bagi mereka yang bersedia ditempatkan di daerah terpencil atau yang jauh dari kampung halaman mereka. Yang terpenting, negara harus memperlakukan peserta CPNS sebagai warga negara yang memiliki martabat dan hak, bukan sekadar mengisi kekosongan formasi dalam sistem birokrasi.
Fenomena pengunduran diri massal CPNS ini harus menjadi peringatan bagi pemerintah bahwa keberhasilan suatu kebijakan tidak hanya diukur dari angka-angka administratif. Keberhasilan sejati harus diukur dari dampaknya terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan individu. Apakah para CPNS merasa dihargai dan dihormati? Apakah mereka memiliki kendali atas hidup mereka? Apakah mereka diperlakukan secara adil, baik secara hukum, sosial, maupun budaya? Jika jawabannya tidak, maka kebijakan tersebut, seefisien apapun secara teknis, tetaplah cacat secara moral dan berpotensi menimbulkan masalah yang lebih besar di masa depan.
- Komunikasi terbuka
- Pendampingan adaptasi
- Kebijakan insentif atau kompensasi