Gubernur NTB Serukan Hukuman Maksimal bagi Pelaku Pencabulan Santriwati di Lombok Barat

Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Lalu Muhamad Iqbal, dengan tegas menyerukan penerapan hukuman seberat-beratnya bagi pelaku pelecehan seksual terhadap santriwati. Seruan ini muncul setelah pertemuannya dengan sejumlah santriwati yang menjadi korban pencabulan oleh oknum pimpinan yayasan di sebuah pondok pesantren di wilayah Lombok Barat.

"Siapapun yang terbukti melakukan pelecehan seksual, harus menghadapi konsekuensi hukum yang paling berat," ujar Iqbal di Mataram, menekankan pentingnya efek jera dalam penegakan hukum. Gubernur meyakini bahwa hukuman yang tegas akan menjadi pesan kuat untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan. "Jika hukumannya ringan, hal ini akan menjadi preseden buruk dan merusak upaya pencegahan pelecehan seksual di kemudian hari."

Iqbal juga menegaskan bahwa tindakan pencabulan tersebut adalah perbuatan oknum dan tidak mencerminkan citra seluruh institusi pondok pesantren. Ia meminta masyarakat untuk tidak menggeneralisasi kasus ini sebagai masalah pesantren secara keseluruhan. "Pelaku kejahatan seksual bisa berada di mana saja. Jangan sampai kasus ini mencoreng nama baik pesantren, karena ini murni perbuatan individu yang tidak bertanggung jawab."

Perlindungan terhadap korban menjadi fokus utama dalam penanganan kasus ini. Gubernur Iqbal menekankan pentingnya menjaga identitas dan privasi para korban agar mereka tidak mengalami trauma yang lebih mendalam. Pemerintah Provinsi NTB berkomitmen untuk memberikan pendampingan psikologis dari tenaga profesional klinis guna membantu proses pemulihan trauma para korban.

Sementara itu, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram, Joko Jumadi, mendesak aparat penegak hukum untuk menerapkan Undang-Undang Perlindungan Anak secara maksimal dalam kasus ini. LPA Mataram mendorong penerapan pasal 81 ayat 5 dan pasal 82 ayat 4 UU Perlindungan Anak, yang memungkinkan pelaku diancam dengan pidana maksimal, termasuk pidana mati atau pidana seumur hidup, seperti yang pernah terjadi dalam kasus serupa di Jawa Barat.

Kasus ini terungkap setelah Koalisi Stop Kekerasan Seksual NTB mengidentifikasi sekitar 22 alumni santriwati yang menjadi korban pencabulan dan persetubuhan yang diduga dilakukan oleh oknum ketua yayasan pondok pesantren. Sembilan orang korban, yang merupakan alumni tahun 2016-2023 dan masih di bawah umur saat kejadian, telah melaporkan kasus ini kepada pihak kepolisian.

Sebelumnya, AF, pimpinan yayasan pondok pesantren tersebut, dilaporkan ke polisi atas dugaan pencabulan dan persetubuhan terhadap santriwati. Kasus ini mencuat setelah para korban membahas film serial Malaysia berjudul Bidaah (Walid) dalam sebuah grup alumni, yang kemudian memicu keberanian mereka untuk mengungkap pengalaman pahit tersebut.