Indonesia Hadapi Tantangan Pensiun Dini PLTU untuk Capai Target Iklim
Pemerintah Indonesia dihadapkan pada tantangan besar dalam upaya mencapai target iklim global, khususnya terkait dengan pengurangan emisi karbon dari sektor energi. Sebuah studi dari Institute for Essential Services Reform (IESR) menyoroti perlunya pemensiunan dini sejumlah besar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara untuk menjaga kenaikan suhu bumi tidak melampaui 1,5 derajat Celsius.
Langkah ini menjadi krusial mengingat kontribusi signifikan PLTU batu bara terhadap emisi gas rumah kaca. Menurut kajian IESR, sebanyak 72 PLTU dengan total kapasitas 43,4 Gigawatt (GW) harus dinonaktifkan secara bertahap antara tahun 2022 hingga 2045. Periode krusial 2025-2030 menjadi fokus utama, dengan rekomendasi pemensiunan 18 PLTU berkapasitas 9,2 GW. Dari jumlah tersebut, 8 PLTU (5 GW) dimiliki oleh PT PLN (Persero) dan sisanya (10 PLTU dengan kapasitas 4,2 GW) merupakan milik pengembang swasta.
Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan (Road Map) Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan menjadi landasan hukum penting dalam proses ini. Permen ini mempertimbangkan berbagai aspek seperti usia pembangkit, kapasitas, aspek ekonomi, serta dampak lingkungan, khususnya emisi gas rumah kaca.
Namun, pemensiunan dini PLTU bukanlah tanpa tantangan. Biaya yang dibutuhkan diperkirakan mencapai 4,6 miliar dollar AS hingga tahun 2030 dan melonjak menjadi 27,5 miliar dollar AS pada tahun 2050. Sebagian besar biaya (18,3 miliar dollar AS) terkait dengan PLTU swasta, sementara sisanya (9,2 miliar dollar AS) merupakan PLTU milik PLN. Walaupun investasi awal terbilang besar, IESR menggarisbawahi manfaat jangka panjang dari pemensiunan PLTU, termasuk penurunan biaya kesehatan dan pengurangan subsidi PLTU yang diperkirakan mencapai 96 miliar dollar AS pada tahun 2050.
Strategi Pendanaan dan Integrasi Energi Terbarukan
Salah satu kunci keberhasilan transisi energi ini adalah ketersediaan dukungan pendanaan, baik dari dalam maupun luar negeri. IESR menyarankan agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat dialokasikan untuk mendukung pemensiunan dini PLTU milik PLN yang dinilai tidak efisien, mahal, dan berkontribusi pada polusi udara. Dana ini kemudian dapat dialihkan untuk mempercepat pembangunan energi terbarukan dan memperkuat jaringan listrik.
Selain itu, IESR menekankan pentingnya fleksibilitas operasional PLTU selama masa transisi. PLTU dapat dioperasikan secara fleksibel untuk mendukung integrasi energi terbarukan, terutama tenaga surya dan angin. Dengan pendekatan ini, PLTU akan beroperasi mengikuti pola pembangkit intermiten, dalam batas teknis yang aman bagi sistem kelistrikan. Hal ini memungkinkan peningkatan penetrasi energi terbarukan dalam sistem kelistrikan secara signifikan.
Daftar Pertimbangan dalam Pemensiunan PLTU:
- Usia Pembangkit
- Kapasitas Pembangkit
- Keekonomian Proyek
- Dampak Lingkungan (Emisi Gas Rumah Kaca)
Transisi energi di Indonesia memerlukan strategi komprehensif yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Dengan dukungan pendanaan yang tepat, fleksibilitas operasional, dan fokus pada pengembangan energi terbarukan, Indonesia dapat mencapai target iklimnya dan menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan.