KSSK Jamin Stabilitas Keuangan Nasional di Tengah Gejolak Tarif Impor AS

Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) memberikan sinyal positif terkait kondisi sistem keuangan Indonesia. Pada kuartal I 2025, KSSK menyatakan bahwa stabilitas sistem keuangan nasional tetap terjaga, meskipun dihadapkan pada tantangan ketidakpastian global yang dipicu oleh kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh Amerika Serikat (AS). Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers yang digelar pada Kamis, 24 April 2025.

Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan sekaligus Ketua KSSK, menjelaskan bahwa eskalasi ketidakpastian ekonomi global dipicu oleh kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh pemerintah AS. Kebijakan ini memicu perang tarif, terutama dengan China, yang menyebabkan tarif impor melambung hingga di atas 100 persen. Dampak dari perang tarif ini diperkirakan tidak hanya akan dirasakan oleh AS dan China, tetapi juga oleh perekonomian global secara keseluruhan. Selain itu, kebijakan tersebut juga memicu peningkatan ketidakpastian di pasar keuangan global dan tata kelola perdagangan serta investasi antarnegara.

Menurut Sri Mulyani, kebijakan tarif AS ini telah mendorong perilaku risk aversion atau penghindaran risiko di kalangan pelaku usaha dan pemilik modal. Hal ini mengakibatkan penurunan yield US Treasury dan pelemahan indeks mata uang Dolar AS (DXY). Di tengah ekspektasi penurunan suku bunga acuan (Fed Fund Rate), penghindaran risiko oleh investor mendorong aliran modal dari AS ke negara dan aset yang dianggap aman (safe haven assets), seperti aset keuangan di Eropa dan Jepang, serta komoditas emas. Sebaliknya, negara-negara berkembang terus mengalami outflow modal, yang menyebabkan tekanan terhadap pelemahan mata uang, termasuk rupiah.

Dana Moneter Internasional (IMF), dalam laporan World Economic Outlook (WEO) April 2025, merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk tahun 2025 sebesar 0,5 persen, dari 3,3 persen menjadi 2,8 persen. Proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia untuk tahun 2026 juga diturunkan sebesar 0,3 persen, dari 3,3 persen menjadi 3 persen. Penurunan proyeksi ini disebabkan oleh dampak langsung dari eskalasi perang tarif, yang mengakibatkan penurunan aktivitas perdagangan antarnegara.

Kebijakan tarif resiprokal AS juga berdampak tidak langsung, seperti disrupsi rantai pasok, ketidakpastian di bidang perdagangan dan investasi, serta memburuknya sentimen pelaku usaha terhadap prospek ekonomi. Akibatnya, IMF juga merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi sejumlah negara, termasuk Thailand (koreksi 1,1 persen), Vietnam (koreksi 0,9 persen), Filipina (koreksi 0,6 persen), dan Meksiko (koreksi 1,7 persen). Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia juga direvisi turun dari 5,1 persen menjadi 4,7 persen, atau turun 0,4 persen. Namun, koreksi ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara lain.

Menyikapi situasi ini, KSSK sepakat untuk terus meningkatkan kewaspadaan serta memperkuat koordinasi dan kebijakan antar lembaga anggota KSSK. Langkah ini bertujuan untuk memitigasi potensi dampak rambatan faktor risiko global dan memperkuat perekonomian serta sektor keuangan dalam negeri.