Jerat Hukum Endorsement Produk Ilegal di Era Digital: Antara Tanggung Jawab Selebgram dan Perlindungan Konsumen
Maraknya Endorsement Produk Ilegal: Siapa yang Bertanggung Jawab?
Era digital telah mengubah lanskap promosi secara fundamental, menggeser pusat perhatian dari media konvensional ke platform daring yang dikuasai oleh para influencer. Selebgram, content creator, dan figur publik dunia maya lainnya kini menjadi garda depan pemasaran, menjangkau audiens luas dengan kecepatan dan efisiensi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, popularitas ini juga membuka celah bagi praktik yang merugikan: promosi produk palsu dan ilegal.
Fenomena endorsement produk kosmetik ilegal, barang fashion palsu (KW), hingga obat-obatan tanpa izin edar semakin marak, mengindikasikan bahwa ruang digital belum sepenuhnya aman bagi konsumen. Lalu, ketika konsumen menjadi korban produk palsu yang dipromosikan oleh influencer, pertanyaan mendasar muncul: Siapa yang seharusnya bertanggung jawab? Apakah produsen nakal, platform digital yang memfasilitasi transaksi, atau justru para selebgram yang menerima bayaran untuk mempromosikan produk tersebut?
Tanggung Jawab Hukum dan Etika
Dalam perspektif hukum, periklanan memegang peranan krusial dalam membentuk persepsi konsumen. Selebgram yang mempromosikan suatu produk tidak lagi dipandang hanya sebagai pengguna, melainkan sebagai bagian integral dari rantai distribusi atau bahkan agen iklan, meskipun tidak terikat kontrak formal. Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara tegas melarang pelaku usaha untuk memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan ketentuan, termasuk melalui iklan yang menyesatkan.
যদিও selebgram bukanlah produsen, hukum Indonesia belum secara eksplisit mengatur kedudukan hukum mereka dalam konteks endorsement produk ilegal. Namun, jika promosi dilakukan secara berulang dan terorganisasi, dengan kesadaran atau dugaan kuat bahwa produk tersebut tidak memiliki legalitas atau terbukti palsu, mereka dapat dianggap memiliki "itikad buruk". Dalam doktrin hukum perdata, pihak yang terikat kontrak dengan pihak lain wajib melakukan due diligence, yaitu tindakan kehati-hatian untuk memastikan bahwa transaksi tersebut sah dan tidak merugikan pihak lain.
Selebgram yang menerima endorsement seharusnya tidak dapat berlindung di balik alasan ketidaktahuan. Ketika promosi dilakukan dengan imbalan, baik berupa uang maupun barang, tanggung jawab moral bahkan dapat bertransformasi menjadi tanggung jawab hukum. Di berbagai negara maju, seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Uni Eropa, influencer diwajibkan untuk mengungkapkan hubungan afiliasi mereka dengan produk yang diiklankan, dan akan dimintai pertanggungjawaban jika produk tersebut menyesatkan atau membahayakan publik.
Peran Platform Digital dan Literasi Konsumen
Platform media sosial seperti Instagram dan TikTok, serta berbagai e-commerce, juga tidak dapat bersikap netral dalam isu ini. Mereka memiliki peran penting sebagai kurator, bukan hanya fasilitator transaksi. Meskipun sulit untuk memberlakukan sistem pengawasan penuh terhadap semua transaksi, mekanisme pelaporan dan filtering konten yang mencurigakan perlu diperkuat.
Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Rancangan Undang-Undang Perdagangan Digital menjadi krusial untuk mengakomodasi realitas transaksi daring dan peran pihak ketiga seperti platform digital. Diperlukan pendekatan baru dalam hukum perlindungan konsumen di era digital, dengan beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan:
- Regulasi Afiliasi Digital: Pemerintah perlu merumuskan aturan yang jelas mengenai promosi berbayar oleh influencer, termasuk kewajiban untuk menyatakan afiliasi dan asal produk.
- Sanksi Administratif dan Pidana: Jika produk yang diiklankan terbukti palsu atau membahayakan, selebgram dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan akun atau denda administratif. Dalam kasus yang lebih berat, mereka dapat dijerat dengan pasal penipuan atau penyebaran informasi palsu.
- Peningkatan Literasi Digital Konsumen: Konsumen perlu dibekali dengan pengetahuan tentang cara memeriksa keaslian produk, mengidentifikasi endorsement yang kredibel, dan memahami hak-hak mereka sebagai konsumen digital.
- Tanggung Jawab Bersama (Shared Responsibility): Tidak cukup hanya menindak pelaku usaha nakal, tetapi juga harus ada mekanisme tanggung jawab bersama antara produsen, influencer, dan platform digital.
Kasus penipuan produk palsu tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga dapat membahayakan keselamatan konsumen, terutama jika melibatkan makanan, kosmetik, atau obat-obatan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menyita ribuan kosmetik ilegal yang mayoritas dipasarkan melalui selebgram. Namun, hanya sebagian kecil dari mereka yang dimintai pertanggungjawaban hukum.
Masyarakat masih cenderung memandang selebgram sebagai role model. Ketika mereka mempromosikan produk tanpa kehati-hatian, kepercayaan publik dipertaruhkan. Ini bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah etika dan tanggung jawab sosial.
Era digital menuntut pendekatan hukum yang lebih progresif. Selebgram bukan hanya pengguna media sosial, tetapi juga aktor penting dalam rantai pemasaran. Mereka harus memikul tanggung jawab ketika produk yang mereka endorse terbukti palsu dan merugikan publik. Hukum harus hadir untuk mengatur, bukan hanya menonton. Kita membutuhkan regulasi yang mengedepankan kehati-hatian, akuntabilitas, dan perlindungan bagi konsumen di dunia maya yang serba cepat dan penuh tipu daya.