Kemendikdasmen Pertimbangkan Reaktivasi Jurusan di SMA: Upaya Perbaikan Sistem Pendidikan atau Langkah Mundur?

Polemik Pengembalian Jurusan di SMA: Antara Kejelasan Arah dan Potensi Kesenjangan

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikdasmen) berencana untuk mengembalikan sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di Sekolah Menengah Atas (SMA) mulai tahun 2025. Wacana ini muncul sebagai respons terhadap evaluasi implementasi Kurikulum Merdeka yang sebelumnya menghapus sistem penjurusan. Kebijakan penghapusan penjurusan yang digagas oleh Menteri Pendidikan sebelumnya, Nadiem Makarim, bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sosial di sekolah, dimana banyak orang tua cenderung mengarahkan anaknya ke jurusan IPA dengan anggapan memberikan pilihan studi yang lebih luas di perguruan tinggi.

Kurikulum Merdeka menawarkan fleksibilitas kepada siswa kelas 11 dan 12 untuk memilih mata pelajaran sesuai minat dan bakat tanpa terikat pada jurusan tertentu. Namun, implementasi kurikulum ini dinilai belum optimal. Salah satu kendalanya adalah kesiapan guru dan pemahaman orang tua terhadap perubahan kurikulum. Selain itu, muncul kekhawatiran bahwa tanpa penjurusan, siswa akan kesulitan menentukan pilihan mata pelajaran yang relevan dengan minat dan cita-cita mereka, terutama karena pada usia tersebut, banyak siswa masih dalam tahap pencarian jati diri.

Kebijakan sebelumnya mewajibkan guru untuk memenuhi minimal 24 jam mengajar per minggu. Hal ini menyulitkan sekolah dalam mengarahkan siswa untuk memilih mata pelajaran tertentu, karena harus menyesuaikan dengan ketersediaan guru mata pelajaran. Beberapa pihak berpendapat bahwa pengembalian penjurusan dapat mengatasi masalah-masalah ini. Sistem penjurusan yang jelas akan memfokuskan pembelajaran sesuai dengan minat siswa, misalnya siswa yang ingin melanjutkan studi di bidang teknik akan lebih fokus pada mata pelajaran Fisika dan Matematika, sementara siswa yang berminat pada bidang kedokteran akan memprioritaskan Biologi dan Kimia.

Selain itu, tata kelola penjurusan akan lebih mudah dilakukan oleh pihak sekolah karena kebutuhan guru untuk masing-masing mata pelajaran dalam satu kelas sudah diketahui secara pasti. Kekurangan dapat diantisipasi ketika jumlah guru tidak mencukupi. Sementara itu, bagi pemerintah, mengelola lebih mudah karena memprediksi kebutuhan guru SMA untuk masing-masing mata pelajaran. Dengan demikian, siswa dapat lebih mudah memilih bidang yang sesuai dengan bakat mereka, dan sekolah dapat mengelola sumber daya guru dengan lebih efisien. Pemerintah juga dapat memprediksi kebutuhan guru SMA untuk masing-masing mata pelajaran.

Namun, rencana pengembalian penjurusan juga menuai kekhawatiran. Salah satu kelemahan sistem penjurusan adalah siswa terpaksa mengambil mata pelajaran yang kurang diminati karena sudah terikat dengan jurusan tertentu. Selain itu, ada anggapan bahwa jurusan IPA lebih bergengsi daripada IPS atau Bahasa, yang dapat memicu persaingan tidak sehat di antara siswa. Dr. Elinda Rizkasari, S.Pd, M.Pd, dosen prodi PGSD FKIP Unisri Surakarta, menekankan perlunya pengkajian mendalam sebelum kebijakan ini diterapkan. Pemerintah perlu mencari solusi untuk mempersiapkan siswa memasuki perguruan tinggi tujuan mereka, tanpa menimbulkan masalah baru.

Kemendikdasmen perlu mempertimbangkan secara matang manfaat dan risiko dari pengembalian sistem penjurusan. Kebijakan ini harus dirancang untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua siswa, tanpa menciptakan kesenjangan atau membatasi pilihan mereka.