Trauma Mendalam Siswi SMP di Gunungkidul: Dugaan Perundungan Berujung Penolakan Sekolah

Kasus dugaan perundungan kembali mencoreng dunia pendidikan. Kali ini, seorang siswi kelas VII di sebuah SMP Negeri di Kapanewon Playen, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadi korban. Imbas dari kejadian tersebut, siswi tersebut mengalami trauma mendalam hingga menolak untuk kembali bersekolah.

C. Sri Kusmiyati, ibu dari siswi yang menjadi korban, mengungkapkan bahwa peristiwa ini bermula dari tuduhan pencurian uang di kantin sekolah. Anaknya diduga dirundung dan bahkan dipukul oleh siswa kelas yang lebih tinggi. Padahal, menurut penuturan sang anak, ia telah memberitahukan kepada penjaga kantin sebelumnya bahwa ia akan mengambil uang yang tertinggal. Kondisi ini membuat sang anak ketakutan dan enggan untuk melanjutkan pendidikannya.

"Trauma tidak mau sekolah lagi, takut anak saya," ungkap Kusmiyati dengan nada khawatir.

Ironisnya, informasi mengenai kejadian perundungan ini awalnya tidak datang dari sang anak, melainkan dari wali murid lainnya. Merasa terpukul dan khawatir dengan kondisi putrinya, Kusmiyati segera membawa anaknya ke rumah sakit untuk menjalani visum. Hal ini dilakukan karena sang anak mengeluh sakit perut akibat dugaan tindakan kekerasan yang dialaminya.

"Saya kecewa tidak ada pemberitahuan dari sekolah terkait peristiwa ini," lanjut Kusmiyati, menyiratkan kekecewaannya terhadap pihak sekolah.

Upaya Mediasi dari Pihak Sekolah

Menanggapi laporan tersebut, Plt Kepala SMP N 1 Playen, Tumijo, menyatakan bahwa pihaknya baru menerima informasi mengenai dugaan perundungan tersebut pada hari itu. Ia mengakui bahwa telah dilakukan pertemuan awal dengan orang tua korban dan pihak sekolah akan mengupayakan mediasi antara pihak-pihak yang terlibat.

"Karena ini belum ada kesinkronan dari kedua belah pihak, sekolah akan menindaklanjuti sebaiknya, memediasi mereka. Baik yang dianggap pelaku, dan korban perundungan, harapannya mereka jujur," jelas Tumijo.

Tumijo berharap agar permasalahan ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan, sehingga anak-anak yang terlibat dapat melanjutkan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Ia menekankan bahwa diperlukan pendekatan yang lebih mendalam untuk menggali pengakuan dari para siswa, mengingat kesulitan mereka dalam mengungkapkan kejadian yang sebenarnya.

"Memang agak sulit menanyakan pengakuan anak secara langsung," kata Tumijo.

Program Anti-Perundungan Sekolah

Pihak sekolah, melalui Tumijo, mengklaim telah memiliki tim anti-perundungan dan secara rutin melaksanakan apel sebanyak tiga kali dalam seminggu, dengan penekanan pada nilai-nilai anti-perundungan.

"Sekolah anaknya banyak, kadang kecil (perundungan kecil), kenapa tidak tahu? Karena anak tidak melaporkan. Yang paling banyak anak memanggil nama orang tuanya, itu juga masuk perundungan," jelasnya.

Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya pengawasan dan penanganan yang serius terhadap isu perundungan di lingkungan sekolah. Selain itu, keterbukaan dan komunikasi yang baik antara siswa, orang tua, dan pihak sekolah menjadi kunci utama dalam mencegah dan mengatasi kasus perundungan.