Ekspansi Pembangkit Listrik Gas: Studi Ungkap Risiko Ekonomi dan Kesehatan yang Mengintai
Studi terbaru yang dilakukan oleh Greenpeace Indonesia dan Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkap potensi dampak negatif dari rencana pemerintah untuk memperluas penggunaan gas sebagai bagian dari transisi energi. Studi ini menyoroti risiko ekonomi, kesehatan, dan lingkungan yang mungkin timbul akibat penambahan kapasitas pembangkit listrik tenaga gas.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2024-2033, pemerintah berencana menambah 22 gigawatt (GW) pembangkit listrik tenaga gas hingga tahun 2040, dengan tujuan menjadikan gas sebagai jembatan transisi dari batu bara. Namun, studi ini menemukan bahwa ekspansi tersebut dapat menimbulkan konsekuensi yang signifikan.
Salah satu temuan utama adalah potensi beban biaya kesehatan yang mencapai antara Rp 89,8 triliun hingga Rp 249,8 triliun dalam 15 tahun mendatang akibat polusi udara dari pembangkit listrik tenaga gas. Selain itu, penambahan 22 GW pembangkit gas diperkirakan akan meningkatkan emisi karbon dioksida hingga 49,02 juta ton per tahun dan emisi metana hingga 43.768 ton per tahun, yang berkontribusi pada perubahan iklim.
Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, menyatakan bahwa rencana pemanfaatan gas bumi justru dapat menghambat transisi energi yang berkelanjutan. Ia menekankan bahwa gas alam mengandung metana, gas rumah kaca yang lebih kuat daripada karbon dioksida.
Studi ini juga menyoroti potensi penurunan output ekonomi sebesar Rp 941,4 triliun secara akumulatif hingga 2040 akibat pembangkit listrik tenaga gas, termasuk penurunan output hingga Rp 280,9 triliun dari pembangkit listrik tenaga gas siklus gabungan.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menambahkan bahwa pembangkit turbin gas berisiko mengurangi serapan tenaga kerja hingga 6,7 juta orang, terutama di sektor-sektor yang terdampak seperti kelautan dan perikanan. Selain itu, pengembangan gas bumi untuk pembangkitan listrik dapat memperburuk beban subsidi listrik.
Sebagai alternatif, studi ini menyoroti potensi energi terbarukan dalam memberikan kontribusi ekonomi sebesar Rp 2.627 triliun pada tahun 2040 dan menciptakan hingga 20 juta lapangan kerja jika pembangkit terbarukan skala komunitas dikembangkan secara masif.
Berdasarkan temuan tersebut, Greenpeace Indonesia dan Celios merekomendasikan agar pemerintah membatalkan rencana penambahan pembangkit gas dalam RUPTL, membuat peta jalan pemensiunan pembangkit listrik tenaga gas dan bahan bakar fosil lainnya, serta mempercepat transformasi ekonomi melalui fokus pada energi terbarukan, khususnya energi surya dan angin.
Berikut adalah beberapa poin penting yang diangkat dalam studi ini:
- Biaya Kesehatan: Pembangkit listrik tenaga gas dapat menimbulkan beban biaya kesehatan yang signifikan akibat polusi udara.
- Emisi Gas Rumah Kaca: Ekspansi pembangkit gas akan meningkatkan emisi karbon dioksida dan metana, memperburuk perubahan iklim.
- Dampak Ekonomi: Pembangkit listrik tenaga gas dapat menurunkan output ekonomi dan mengurangi serapan tenaga kerja.
- Subsidi Listrik: Pengembangan gas bumi untuk pembangkitan listrik dapat memperberat beban subsidi listrik.
- Potensi Energi Terbarukan: Energi terbarukan memiliki potensi besar untuk memberikan kontribusi ekonomi dan menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak.
Studi ini memberikan gambaran komprehensif mengenai potensi risiko dan manfaat dari pengembangan gas sebagai bagian dari transisi energi, serta menyoroti pentingnya mempertimbangkan alternatif energi terbarukan yang lebih berkelanjutan.