Prospek Pasar Saham Indonesia Cerah: UBS Menaikkan Peringkat, Optimisme Target IHSG Meningkat
Kabar baik datang dari pasar modal Indonesia. UBS Group AG, sebuah perusahaan perbankan investasi dan jasa keuangan global, baru-baru ini menaikkan peringkat saham Indonesia menjadi overweight. Keputusan ini mengindikasikan keyakinan terhadap fundamental ekonomi dalam negeri dan resiliensi pasar saham Indonesia di tengah ketidakpastian global.
Laporan dari Bloomberg mengutip bahwa valuasi saham Indonesia yang menarik dan dukungan kuat dari dalam negeri pasca pandemi Covid-19 menjadi alasan utama di balik peningkatan peringkat ini. Pandangan ini sejalan dengan pendapat para analis pasar modal di Indonesia.
Indy Naila, seorang Investment Analyst di Edvisor Provina Visindo, mengamini bahwa banyak saham di Bursa Efek Indonesia saat ini undervalued. Ketidakpastian global dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat menciptakan peluang bagi investor jangka panjang untuk mengakumulasi saham dengan harga menarik.
Ia menyoroti sektor perbankan, khususnya saham-saham bank BUMN seperti Bank Mandiri (BMRI), Bank Rakyat Indonesia (BBRI), dan Bank Negara Indonesia (BBNI). Saham-saham ini diperdagangkan dengan price to earnings ratio (PER) di bawah rata-rata industri dan rata-rata tiga tahun terakhir. Sebagai contoh, PER BBNI saat ini 7,14 kali, lebih rendah dari rata-rata tiga tahun sebesar 8,92 kali. BBRI memiliki PER 9,38 kali, di bawah rata-rata tiga tahun 12,92 kali. Sementara itu, BMRI berada di PER 8,12 kali, lebih rendah dari rata-rata tiga tahun sebesar 10,69 kali. Rata-rata industri berada di angka 10,16 kali.
Valuasi yang menarik ini diperkirakan dapat memicu minat investor jangka panjang untuk kembali masuk ke pasar saham Indonesia. Meskipun demikian, Indy memperkirakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada tahun 2025 akan bergerak sideways, dengan proyeksi berada di kisaran 6.800 hingga 7.200.
Dalam kondisi pasar seperti ini, Indy merekomendasikan akumulasi saham-saham perbankan seperti BMRI dengan target jangka panjang Rp 6.100, BBNI dengan target Rp 5.000, dan BBRI di Rp 5.250. Selain sektor perbankan, saham-saham sektor konsumer, khususnya sub sektor kelapa sawit, seperti Triputra Agro Persada (TAPG) juga dinilai menarik dengan target harga Rp 1.000.
Felix Darmawan, seorang ekonom dari Panin Sekuritas, juga mendukung pandangan bahwa pasar saham Indonesia saat ini undervalued. Ia sepakat dengan UBS bahwa pasar domestik saat ini menawarkan peluang investasi yang menarik, mirip dengan kondisi pada masa pandemi Covid-19. Menurutnya, banyak saham diperdagangkan di bawah rata-rata valuasi lima tahun terakhir, bahkan saham-saham blue chip mengalami penurunan valuasi tanpa adanya penurunan kinerja fundamental perusahaan.
Felix mencontohkan saham-saham dari kelompok bank Himbara, Telkom Indonesia (TLKM), dan saham-saham berbasis komoditas sebagai contoh saham-saham yang undervalued. Namun, ia menekankan bahwa kondisi saat ini berbeda dengan masa pandemi. Jika pada era Covid-19 tekanan berasal dari dalam negeri, saat ini tantangan utama berasal dari faktor eksternal dan ketidakpastian kebijakan global.
Oleh karena itu, Felix memperkirakan pemulihan pasar saham akan lebih selektif. Panin Sekuritas memproyeksikan IHSG akan mencapai level 7.072 pada tahun 2025.
Untuk strategi investasi, Felix menyarankan investor untuk fokus pada sektor-sektor yang bersifat defensif dan berorientasi pada konsumsi domestik, seperti perbankan besar, barang konsumsi dasar, utilitas, dan sektor telekomunikasi. Sektor emas dan energi juga layak diperhatikan karena didorong oleh kenaikan harga komoditas global. Seleksi saham berdasarkan fundamental dan sentimen domestik menjadi kunci utama untuk meraih keuntungan di pasar saat ini.
Dalam laporan Bloomberg, UBS juga menaikkan peringkat saham India menjadi netral, dari sebelumnya underweight. Kenaikan ini disebabkan oleh fokus domestik yang tinggi dan ketahanan laba pasar India. Sentimen positif lainnya berasal dari perbankan India yang bersedia menurunkan suku bunga deposito, meski pertumbuhan ekonomi melambat, dan potensi dukungan pemerintah untuk konsumsi.
Namun, UBS belum memberikan peringkat overweight kepada India karena fundamental saham India masih lemah dan arah kebijakan belum jelas. Valuasi India juga dinilai masih tinggi dan belum menjadi pemenang dalam pergeseran rantai pasok global. Oleh karena itu, UBS lebih memilih China daripada India dalam hal risiko dan imbal hasil.