Pergantian Nama Gedung Negara Cirebon Picu Reaksi Warga: Kurangnya Keterlibatan Publik Dipertanyakan

Kontroversi Penamaan Ulang Gedung Negara Cirebon

Keputusan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk mengubah nama Gedung Negara Kota Cirebon menjadi Bale Jaya Dewata menuai kritik dari sejumlah warga. Mereka menyayangkan kurangnya sosialisasi dan keterlibatan masyarakat Cirebon dalam proses perubahan nama tersebut.

Perubahan nama tersebut terungkap ketika papan nama Bale Jaya Dewata terpasang di Gedung Negara, Jalan Siliwangi. Meskipun beberapa bagian masih dalam tahap penyelesaian, pemasangan papan nama ini menjadi sorotan. Dedi Mulyadi sendiri berencana menggunakan gedung ini untuk kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Provinsi Jawa Barat dalam beberapa bulan ke depan. Ia menyatakan bahwa pemerintah provinsi akan mengevaluasi pembangunan bersama-sama, dengan target pembangunan terencana yang siap pada tahun 2026, dan akan dimulai di Musrenbang Provinsi yang akan diselenggarakan di Bale Jaya Dewata.

Pemerhati sejarah dan budaya Kota Cirebon, Jajat Sudrajat, mengungkapkan keterkejutannya atas perubahan nama yang dinilai mendadak dan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Jajat menyayangkan sikap Dedi Mulyadi yang tidak melibatkan warga Cirebon, termasuk perwakilan keraton, pemerhati budaya, dan sejarah, dalam proses pengambilan keputusan. Menurutnya, hal ini dapat memicu polemik.

Jajat menjelaskan bahwa Jaya Dewata memiliki nama muda Raden Pamanah Rasa, yang setelah menjadi raja berganti nama menjadi Prabu Jaya Dewata atau Prabu Siliwangi. Istilah "Bale" merujuk pada tempat. Namun, ia berpendapat bahwa penggunaan nama Prabu Siliwangi kurang tepat karena tokoh tersebut belum pernah mengunjungi Cirebon.

Sebagai alternatif, Jajat mengusulkan nama-nama seperti Panembahan Losari atau Pangeran Suci Manah yang dianggap lebih mewakili tokoh budaya dan sejarah Cirebon.

Sejarah Gedung Negara dan Harapan Keterlibatan Masyarakat

Pemerhati budaya Cirebon, Raden Chaidir Susilaningrat, juga mengaku baru mengetahui perubahan nama Gedung Negara dari media sosial. Ia menyoroti tidak adanya acara peresmian nama baru dan kurangnya sosialisasi kepada masyarakat.

Chaidir menjelaskan bahwa Gedung Negara didirikan pada tahun 1808 sebagai markas pasukan kolonial Belanda yang direkrut dari penduduk pribumi. Bangunan ini dikenal sebagai Gedung Karesidenan atau Gedung Negara. Setelah penghapusan fungsi pemerintahan di tingkat Karesidenan (Bakorwil III Cirebon) oleh Gubernur Ridwan Kamil, gedung ini sempat dijadikan Creative Center Ahmad Suhara. Namun, kini nama gedung itu diubah kembali oleh Gubernur Dedi Mulyadi menjadi Bale Jaya Dewata.

Chaidir menekankan pentingnya musyawarah dengan semua pihak terkait, termasuk stakeholder kebudayaan, dalam penamaan gedung bersejarah. Ia berharap tokoh masyarakat, budayawan, dan pegiat budaya lokal dapat dilibatkan agar menghasilkan keputusan yang lebih baik dan selaras dengan upaya pelestarian warisan budaya bangsa.

Beberapa poin penting yang menjadi sorotan dalam berita ini adalah:

  • Perubahan nama Gedung Negara Kota Cirebon menjadi Bale Jaya Dewata.
  • Kritik warga terhadap kurangnya sosialisasi dan keterlibatan masyarakat dalam proses perubahan nama.
  • Penjelasan sejarah Gedung Negara dan usulan nama alternatif oleh pemerhati budaya.
  • Harapan akan keterlibatan stakeholder kebudayaan dalam penamaan gedung bersejarah.

Perubahan nama Gedung Negara Cirebon menjadi isu sensitif yang menyoroti pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait warisan budaya. Proses dialog dan musyawarah diharapkan dapat menghasilkan solusi yang lebih inklusif dan menghargai nilai-nilai sejarah serta budaya lokal.