Perjuangan Siti Hawa: Benteng Terakhir Masyarakat Adat Rempang Melawan Proyek Rempang Eco-City

Di tengah hiruk pikuk pembangunan dan ambisi investasi, seorang perempuan bernama Siti Hawa, atau yang akrab disapa Nek Awe, menjadi simbol perlawanan bagi masyarakat adat di 16 titik Kampung Tua, Pulau Rempang, Batam. Di usianya yang senja, Nek Awe dengan gigih mempertahankan tanah leluhur mereka dari ancaman Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City.

Sejak wacana pembangunan Rempang Eco-City yang digulirkan pemerintah pada tahun 2023, penolakan dari masyarakat Rempang tak pernah surut. Bentrokan antara warga dan aparat keamanan serta perwakilan perusahaan pengembang kerap terjadi, menimbulkan luka fisik dan trauma psikologis bagi warga. Nek Awe, dengan semangat yang tak pernah padam, selalu berada di garda terdepan.

"Tetap berdiri walaupun harus mati di barisan depan, perjuangkan kampung sampai tuntas. Itu harga mati," tegas Nek Awe, menyiratkan tekadnya yang bulat untuk mempertahankan hak-hak masyarakat adat.

Perjuangan Nek Awe bukan sekadar tentang mempertahankan lahan, tetapi tentang melindungi identitas dan masa depan generasi penerus. Sebagai perempuan kelahiran Kampung Sembulang Hulu, Nek Awe meyakini bahwa keluarganya telah mendiami wilayah ini jauh sebelum Indonesia merdeka. Keberadaan Kampung Tua di Pulau Rempang, menurutnya, jauh lebih tua dari Kota Batam itu sendiri.

Namun, perjuangan mempertahankan tanah leluhur tidaklah mudah. Nek Awe tak luput dari intimidasi dan kriminalisasi. Ia pernah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penganiayaan terhadap seorang pegawai PT Makmur Elok Graha (MEG), perusahaan pengelola proyek Rempang Eco-City. Tuduhan yang dianggapnya tidak berdasar dan merupakan upaya untuk membungkam perlawanan warga.

"Kalau kami tidak berjuang mati-matian bagaimana nanti nasib cucu kami di kampung ini. Mereka akan kehilangan identitasnya sebagai orang Melayu," ungkap Nek Awe, dengan nada sedih.

Salah satu momen kelam dalam perjuangan mereka adalah bentrokan pada 18 Desember 2024. Saat itu, kampung mereka diserang oleh puluhan orang yang diduga merupakan pekerja PT MEG. Nek Awe yang berada di garis depan terkena pukulan kayu hingga mengalami patah tulang di tangan kanannya. Selain luka fisik, ia juga harus menghadapi pemeriksaan berulang kali di kepolisian atas tuduhan merampas kemerdekaan seseorang.

Nek Awe merindukan kedamaian Pulau Rempang yang dulu ia kenal. Laut biru tempat ia bermain dan mencari umang-umang kini terancam oleh proyek investasi. Dulu, kata Nek Awe, kampung mereka damai sebelum adanya isu investasi dengan kedok relokasi yang sekarang disebut transmigrasi. Sekarang, ia bersama perempuan lain di kampung harus terus berjaga di posko untuk mencegah kampung mereka direbut.

Di tengah perjuangannya, Nek Awe tetap menjalankan kehidupan sehari-hari dengan sederhana. Ia berjualan ayam penyet untuk mencukupi kebutuhan keluarga, karena suaminya sudah tidak lagi bekerja.

Masyarakat Rempang sempat menaruh harapan pada pemimpin daerah yang dianggap peduli pada nasib mereka. Dukungan politik diberikan kepada calon wali kota dan gubernur yang dianggap sebagai anak Melayu. Namun, harapan itu tampaknya belum sepenuhnya terwujud.

"Namun sepertinya usaha ini sedikit sia-sia. Mereka yang kami usung sepertinya belum memperdulikan perjuangan kami hingga hari ini," ujarnya dengan nada kecewa.

Bagi masyarakat Rempang, Nek Awe adalah simbol perlawanan. Di balik sosoknya yang sederhana dan usia senjanya, tersimpan kekuatan besar untuk terus menyuarakan hak-hak mereka, meski sering kali tak didengar oleh pemerintah.

"Kami di sini tetap melawan," tegas Nek Awe, menutup perbincangan dengan nada penuh semangat.