Transisi Energi Bersih di Asia Tenggara: Antara Ambisi Global dan Realitas Domestik
Ambisi Energi Bersih Asia Tenggara Terganjal Kebijakan Domestik?
Upaya Asia Tenggara untuk mencapai target energi bersih global menghadapi tantangan signifikan, terutama setelah Indonesia dan Vietnam, dua negara dengan konsumsi energi terbesar di kawasan, absen dalam perjanjian pelipatgandaan energi terbarukan pada tahun 2030. Ketidakhadiran ini menyoroti kontradiksi dalam kebijakan energi domestik masing-masing negara.
Laporan terbaru dari Climate Analytics mengungkapkan bahwa Filipina, Thailand, Malaysia, dan Singapura telah menyatakan dukungan terhadap Global Renewable Energy Pledge di COP28. Namun, implementasi nyata dari komitmen ini dalam bentuk peningkatan kapasitas energi terbarukan masih minim. Menurut analis kebijakan energi dan iklim, Thomas Houlie, tahun ini akan menjadi penentu apakah janji-janji tersebut sekadar diplomasi simbolik atau mampu mendorong perubahan kebijakan yang substansial.
Tantangan Implementasi di Berbagai Negara
- Filipina: Negara ini justru mengalami penurunan proporsi energi terbarukan antara 2015 dan 2023, sementara batu bara mendominasi penambahan kapasitas listrik. Meskipun skema tarif feed-in (FIT) sempat menarik minat investor, regulasi yang tidak konsisten dan kapasitas kelembagaan yang lemah menghambat perkembangan proyek. Sistem lelang kompetitif melalui Green Energy Auction Programme (GEAP) menawarkan kapasitas besar, namun realisasinya masih belum pasti.
- Malaysia dan Thailand: Kedua negara ini menghadapi stagnasi dalam pengembangan infrastruktur energi bersih. Malaysia bahkan tidak mencatatkan peningkatan kapasitas energi terbarukan antara 2022 dan 2023, meskipun investasi hijau telah meningkat. Kendala teknis dan birokrasi memperlambat implementasi peta jalan transisi energi nasional. Di Thailand, sengketa hukum dan tender yang tidak transparan menghambat implementasi target panel surya atap. Kasus gugatan terhadap proses seleksi proyek angin menunjukkan masalah tata kelola masih menjadi hambatan.
- Vietnam: Setelah sempat menjadi pemimpin regional dalam transisi energi, Vietnam mengalami kemunduran akibat pembekuan proyek dan kekacauan regulasi sejak 2021. Pemerintah baru-baru ini menyetujui revisi Rencana Pengembangan Energi Nasional dengan investasi besar untuk tenaga surya, namun kepercayaan investor yang hilang menjadi tantangan besar.
- Indonesia: Sebagai produsen batu bara terbesar, Indonesia menghadapi dilema. Di satu sisi, ada rencana penghentian pembangkit fosil, namun di sisi lain, pembangunan pembangkit batu bara baru terus berjalan. Just Energy Transition Partnership (JETP) belum memberikan dampak signifikan karena tekanan finansial, dominasi pinjaman, dan kurangnya kerangka kerja transisi yang kuat. Bahkan, relevansi JETP dan Perjanjian Paris sempat dipertanyakan.
- Singapura: Meskipun kecil, Singapura mencatatkan kemajuan signifikan dengan peningkatan tahunan sebesar 16 persen dalam kapasitas energi terbarukan. Negara kota ini menargetkan 2 GW kapasitas tenaga surya terpasang pada 2030. Namun, keterbatasan lahan membuat tenaga surya domestik hanya menjadi bagian kecil dari strategi dekarbonisasi, dengan impor energi rendah emisi menjadi solusi utama.
Secara keseluruhan, transisi energi bersih di Asia Tenggara menghadapi tantangan kompleks, mulai dari kebijakan domestik yang kontradiktif hingga kendala implementasi dan masalah tata kelola. Keberhasilan mencapai target global akan sangat bergantung pada komitmen nyata dan tindakan konkret dari masing-masing negara di kawasan ini.