Tagihan Listrik Tak Wajar Hantui Penjual Gorengan di Jombang, PLN Dituding Lakukan Pembebanan yang Tidak Jelas

Kisah pilu menimpa Masruroh, seorang penjual gorengan keliling di Dusun Blimbing, Desa Kwaron, Kecamatan Diwek, Jombang. Ia terkejut bukan kepalang ketika menerima tagihan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan nominal yang fantastis, mencapai Rp 12,7 juta. Ironisnya, tagihan tersebut disertai tuduhan pencurian listrik sejak tahun 2022.

Masruroh, yang kini hidup sebatang kara, mengaku tidak mengerti mengapa ia bisa mendapatkan tagihan sebesar itu. Lebih membingungkan lagi, nama yang tertera pada tagihan tersebut adalah mendiang ayahnya, Naif Usman, yang telah berpulang sejak tahun 1992. Selain terkejut dengan besarnya tagihan, Masruroh juga merasa terpojok dengan tuduhan pencurian listrik yang dilayangkan oleh PLN. Ia merasa tidak mungkin melakukan hal tersebut dan tidak memiliki kemampuan untuk membayar tagihan yang sangat besar itu.

"Saya bayar pakai uang apa? Uang dari mana saya bisa bayar sebanyak itu? Saya ini hidup dari jualan gorengan keliling saja," ungkapnya dengan nada putus asa. Masruroh menjelaskan bahwa listrik di rumahnya memang digunakan bersama dengan penyewa yang menempati sebagian ruang di samping rumahnya. Sebelum menerima tagihan yang mengagetkan itu, ia sempat menerima peringatan tentang tunggakan dan ancaman pemutusan aliran listrik menjelang Hari Raya Idul Fitri. Ancaman tersebut akhirnya menjadi kenyataan, ketika token listrik miliknya tidak dapat diisi ulang.

Menanggapi kasus yang menimpa Masruroh, Virna Septiana Devi, Team Leader Pelayanan Pelanggan PLN UP3 Jombang-Mojokerto, menyatakan bahwa pelanggan yang memiliki tunggakan memang tidak diperbolehkan untuk menerima pasokan listrik. Menurutnya, utang sebesar Rp 12,7 juta tersebut terikat pada ID pelanggan dengan daya 2.200 watt yang masih aktif. Virna menambahkan bahwa saat ini belum ada kebijakan terkait penghapusan piutang pelanggan. Mengenai keringanan yang diminta oleh Masruroh, Virna menjelaskan bahwa semua bentuk keringanan harus melalui persetujuan manajemen wilayah setempat. Namun, opsi yang paling memungkinkan adalah mencicil utang hingga lunas agar aliran listrik dapat kembali dinikmati.

Kasus yang dialami Masruroh ini menimbulkan pertanyaan mengenai mekanisme penagihan dan penentuan besaran tagihan listrik oleh PLN. Masyarakat berharap agar PLN dapat lebih transparan dan berhati-hati dalam melakukan penagihan, serta mempertimbangkan kondisi ekonomi pelanggan, terutama bagi mereka yang berasal dari kalangan kurang mampu. Kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, baik PLN maupun pelanggan, untuk lebih meningkatkan komunikasi dan pemahaman mengenai hak dan kewajiban masing-masing.