Saksi Kunci Kasus Penembakan di Palangka Raya Ditetapkan Sebagai Tersangka: Tekanan Psikologis dan Relasi Kuasa Diduga Jadi Pemicu

Kasus penembakan yang melibatkan anggota kepolisian di Kalimantan Tengah memasuki babak baru. Muhammad Haryono (MH), seorang sopir taksi daring yang menjadi saksi kunci dalam kasus tewasnya Budiman Arisandi, kini ditetapkan sebagai tersangka. Fakta ini terungkap dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Palangka Raya pada Kamis (24/4/2025).

Pengacara MH, Parlin Bayu Hutabarat, mengungkapkan bahwa penetapan status tersangka terhadap kliennya didasari oleh adanya tekanan psikologis yang kuat dari pelaku utama, Brigadir Anton Kurniawan Stiyanto (AKS). Brigadir Anton adalah anggota kepolisian yang diduga menembak mati Budiman Arisandi, seorang sopir ekspedisi asal Banjarmasin, pada 27 November 2024 lalu. Dalam persidangan, ahli psikologi forensik, Reza Indragiri, memberikan keterangan yang memperkuat dugaan adanya tekanan dan relasi kuasa yang signifikan dalam kasus ini.

Faktor Tekanan dan Relasi Kuasa

Parlin menjelaskan, berdasarkan pandangan ahli psikologi forensik, kliennya berada dalam kondisi psikologis yang membuatnya sulit untuk menolak perintah atau instruksi dari Brigadir Anton. Parlin menyebutkan lima faktor utama yang memengaruhi kondisi tersebut:

  • Ketidakseimbangan Kekuatan: Adanya jurang kekuatan yang signifikan antara Brigadir Anton sebagai anggota kepolisian dengan MH, seorang warga sipil.
  • Nilai Otoritatif Seragam: Penggunaan seragam kepolisian oleh Brigadir Anton memberikan aura otoritas dan kekuasaan yang sulit untuk dilawan.
  • Lingkungan Otoritatif: Tindakan yang dilakukan di dalam mobil, di mana Brigadir Anton memiliki kendali, menciptakan lingkungan yang menekan MH.
  • Keberadaan dalam Satu Ruangan: Kedekatan fisik antara Brigadir Anton dan MH di dalam mobil meningkatkan pengaruh Brigadir Anton.
  • Kosakata dan Intonasi: Cara Brigadir Anton memberikan perintah, termasuk pilihan kata dan intonasinya, semakin memperkuat tekanan psikologis terhadap MH.

Keterlambatan Pelaporan

Faktor keterlambatan pelaporan oleh MH juga menjadi sorotan dalam persidangan. Penembakan terjadi pada 27 November 2024, namun MH baru melaporkan kejadian tersebut pada 10 Desember 2024. Reza Indragiri menjelaskan bahwa reaksi seseorang terhadap tekanan ekstrem tidak selalu seragam. Tidak semua orang mampu segera melaporkan kejadian traumatis, terutama jika melibatkan sosok berkuasa seperti anggota kepolisian.

Reza juga menyoroti tiga parameter utama yang memengaruhi keterlambatan pelaporan, yaitu:

  • Karakteristik Individu: Kondisi psikologis dan latar belakang MH memengaruhi kemampuannya untuk segera merespons kejadian traumatis.
  • Identitas Pelaku: Status Brigadir Anton sebagai anggota kepolisian dan orang yang memegang senjata api menciptakan rasa takut dan keraguan pada diri MH.
  • Jenis Tindak Pidana: Kejahatan berat seperti penembakan dapat menimbulkan trauma mendalam yang menghambat proses pelaporan.

Kasus ini menjadi sorotan karena menyoroti kompleksitas relasi kuasa dan tekanan psikologis yang dapat memengaruhi tindakan seseorang. Persidangan akan terus berlanjut untuk mengungkap fakta-fakta lebih lanjut dan menentukan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.