Tangis Dedi Mulyadi di Puncak: Pembangunan Ekowisata Ancam Keberlangsungan Ekosistem dan Budaya Lokal
Tangis Dedi Mulyadi di Puncak: Pembangunan Ekowisata Ancam Keberlangsungan Ekosistem dan Budaya Lokal
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, meluapkan emosinya dalam bentuk air mata saat meninjau kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, pada Kamis (6/3/2025). Kesedihan mendalam tampak jelas saat ia menyaksikan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pembangunan ekowisata di kawasan tersebut. Hutan yang dibabat habis demi proyek pembangunan, khususnya pembangunan jembatan gantung di salah satu tempat wisata, menjadi pemandangan yang tak mampu ia tahan. Bagi Dedi, ini bukan hanya kerusakan lingkungan semata, namun juga sebuah penghinaan terhadap nilai-nilai budaya dan kearifan lokal masyarakat Sunda.
"Bagi masyarakat Sunda dan Jawa, gunung memiliki makna sakral," ujar Dedi Mulyadi saat ditemui di Bekasi pada Jumat (7/3/2025). "Gunung merupakan sumber kehidupan, dari situlah air, sawah, dan danau berasal, yang pada akhirnya menopang kehidupan manusia. Melihat gunung dibelah begitu saja demi keuntungan ekonomi, sungguh menyayat hati." Ia menekankan bahwa tindakan tersebut bukan hanya merusak keseimbangan alam, tetapi juga merendahkan martabat budaya yang selama ini menghormati dan menjaga kelestarian lingkungan.
Lebih lanjut, Dedi Mulyadi mengumpamakan kerusakan lingkungan di Puncak dengan filosofi tumpeng, simbol keseimbangan ekologi dalam budaya Jawa. "Tumpeng itu seperti gunung, dari satu titik ia menghasilkan kehidupan yang melimpah. Namun, jika gunung dihancurkan, keseimbangan itu hilang," jelasnya. Analogi ini semakin menggarisbawahi keprihatinan Dedi terhadap dampak jangka panjang dari pembangunan ekowisata yang tidak bertanggung jawab.
Amukan pembangunan yang ia saksikan di lokasi, khususnya pembangunan jembatan gantung di Eiger Adventure Land, Megamendung, Kabupaten Bogor, membuatnya semakin terenyuh. Proyek tersebut, yang termasuk dalam empat tempat wisata yang telah disegel karena melanggar regulasi lingkungan, menjadi bukti nyata dari kerusakan lingkungan yang telah terjadi. Dedi Mulyadi menyoroti bagaimana pembangunan tersebut menyebabkan kerusakan lahan yang serius, bahkan berpotensi memicu bencana alam seperti banjir. Pemandangan tanah yang terbelah dan longsor akibat proyek tersebut menjadi saksi bisu atas pelanggaran lingkungan yang terjadi.
Kejadian ini menyoroti pentingnya keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Tangis Dedi Mulyadi bukan sekadar ekspresi emosi pribadi, melainkan refleksi keprihatinan atas kerusakan lingkungan yang semakin mengancam keberlangsungan ekosistem dan nilai-nilai budaya lokal di Jawa Barat. Peristiwa ini juga menjadi pengingat pentingnya penerapan regulasi lingkungan yang tegas dan pengawasan yang ketat untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan serupa di masa mendatang. Perlu upaya bersama untuk memastikan pembangunan berkelanjutan yang tidak mengorbankan kelestarian alam dan kearifan lokal.
Berikut beberapa poin penting terkait masalah ini:
- Kerusakan lingkungan di Puncak akibat pembangunan ekowisata.
- Penolakan Dedi Mulyadi terhadap alih fungsi lahan yang merusak lingkungan dan budaya.
- Analogi tumpeng sebagai simbol keseimbangan ekologi yang terganggu.
- Empat tempat wisata di Puncak disegel karena pelanggaran regulasi lingkungan.
- Potensi bencana alam seperti banjir akibat kerusakan lingkungan.