Jerat Teknologi: Antara Mimpi Demokrasi Digital dan Realitas Kontrol

Teknologi dan Ilusi Kesetaraan: Menakar Ulang Janji Demokrasi Digital

Pengalaman berbagi kisah di festival film, dengan bantuan mikrofon yang memperkuat suara, menyadarkan akan besarnya kuasa teknologi dalam menarik perhatian. Teknologi, dalam bentuk mikrofon dan speaker, memberikan kendali atas forum, sebuah pengalaman yang memicu pertanyaan lebih dalam: bagaimana dengan mereka yang memanfaatkan teknologi untuk memperkaya diri dan memperkuat kekuasaan? Apakah teknologi masih menjadi alat untuk menyederhanakan kehidupan, atau justru menjadi instrumen dominasi?

Dari Gutenberg ke Genggaman Jari: Evolusi Kuasa Media

Penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg pada tahun 1440 menandai revolusi dalam penyebaran informasi. Informasi dapat direplikasi dan disebarluaskan secara massal, membuka jalan bagi pencerahan di Eropa. Lompatan teknologi selanjutnya datang dengan penemuan kamera fotografi oleh Lumiere bersaudara, yang kemudian berkembang menjadi perekam gambar bergerak, film. Namun, masyarakat modern melompati fase pengendapan literasi cetak dan langsung terjun ke penggunaan media audio visual melalui smartphone. Masyarakat kini akrab dengan merekam, berbagi, dan berkomentar melalui media sosial. Homo sapiens dengan cepat bertransformasi menjadi homo digitalis, di mana smartphone dan aplikasi media sosial memberikan otoritas absolut di ujung jari.

Namun, kuasa jari ini membawa konsekuensi. Setiap individu memiliki kemampuan untuk memberikan ekspresi, penilaian, dan bahkan ujaran kebencian. Kuasa teknologi menghipnotis dan menggerakkan publik dalam ruang yang tak terduga sebelumnya. Internet, yang awalnya diharapkan menjadi alat partisipasi dan demokrasi yang setara, kini justru menjadi medan pertarungan kepentingan.

Mimpi yang Terjebak Kapital: Relasi Kuasa di Balik Layar

Kemunculan media sosial seperti Youtube, Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok awalnya diiringi harapan besar akan pemberdayaan dan kesetaraan. Namun, alih-alih menciptakan ruang publik yang memberdayakan, media sosial justru menghancurkan demokrasi. Relasi antara pengguna dan penyedia platform seringkali merupakan relasi kuasa yang dilatarbelakangi oleh kepentingan kapital. Kuasa jari setiap individu digerakkan oleh kuasa yang lebih besar, yaitu kepentingan ekonomi.

Contohnya, iklan yang membanjiri setiap aplikasi media sosial menunjukkan bagaimana pengguna dipaksa untuk melihat dan mengonsumsi informasi. Hubungan antara individu dan media sosial adalah hubungan saling membutuhkan. Setiap klik memberikan data secara sukarela, mengungkapkan identitas, kebutuhan, minat, dan emosi. Pengguna meninggalkan jejak digital yang berharga.

Informasi yang dikumpulkan melalui interaksi di media sosial menjadi big data dengan nilai ekonomis tinggi. Data ini dapat digunakan untuk memprediksi penghasilan, minat produk, konsumsi, dan kebutuhan rumah tangga. Relasi antara pengguna dan penyedia media sosial adalah relasi kooptasi, di mana aktivitas di platform menjadi big data yang dapat ditawarkan kepada perusahaan produk. Data demografi, usia, dan tingkat pendidikan dengan mudah dipetakan. Minat dan emosi pengguna menjadi komoditas yang berharga.

Politik dan Manipulasi: Teknologi sebagai Alat Kekuasaan

Jika media sosial digunakan untuk pemberdayaan warga, kesadaran, partisipasi demi kesetaraan, dan tujuan demokrasi, maka media sosial dalam perspektif politik adalah alat untuk mencapai tujuan. Media sosial menjadi pintu untuk menciptakan issue driven atau character driven, seperti yang diharapkan oleh pemiliknya. Isu dapat dibesar-besarkan dan diarahkan kepada publik. Subjek dengan materinya dapat dibesar-besarkan dalam perspektifnya yang baik, heroik, atau sebaliknya dapat dibunuh karakternya. Teknologi telah menghancurkan cita-cita demokrasi.

Pragmatisme jauh lebih kental daripada fungsi media sosial demi demokrasi. Kuasa teknologi menjadi semakin valid. Utopis ketika mencita-citakan fungsi teknologi media massa adalah untuk keutamaan kemanusiaan. Setiap media adalah medan perebutan makna yang dikelola oleh pemilik kepentingan. Realitas yang ada di masyarakat adalah konstruksi yang didesain oleh para pemilik, penyedia media, atau kekuasaan yang berkongsi.

Perayaan demokrasi kegembiraan semakin terasa palsu, penuh dengan kooptasi kuasa teknologi. Relasi yang ada adalah relasi kepentingan. Setiap kali membuat film, kepentingan adalah relasi yang penuh dengan kepentingan dan para pembuatnya akan dihadapkan pada bagaimana mengelola kepentingan itu. Menggunakan media itu akan penuh dengan kepentingan. Realitas sendiri sesuai dengan apa yang diinginkan. Kuasa teknologi adalah pintu awal bagaimana teknologi akan mendominasi. Publik tidak akan pernah punya polis publikan ruang publik yang otonom. Mereka adalah kerumunan massal yang mempunyai nilai ekonomi. Publik adalah komoditas. Kegelisahan atas terminologi rasional komunikasi sudah usang dan utopis.

Film 2073 merefleksikan betapa lemahnya kita terhadap kuasa teknologi yang mempunyai otoritas kuasa politik. Otoritas yang menguasai teknologi menggunakan perangkat pemindai dan menggunakan data-data yang tersimpan untuk melacak sekaligus mendeteksi siapa saja yang pernah melakukan perlawanan. Data apa saja yang kita sampaikan telah terkunci dan tersimpan. Kita akan sulit mengidentifikasi, di tengah hukum teknologi digital yang sangat chaos, siapa milik siapa, siapa yang berhak, dan siapa yang diuntungkan, atau dengan hukum demografi manakah materi dan subjeknya itu bisa diyuridiskan. Publik netizen akan secara terus menerus menyuapi para pemilik kuasa?