Otonomi Daerah di Indonesia: Antara Harapan dan Realita Sentralisasi

Otonomi Daerah di Indonesia: Antara Harapan dan Realita Sentralisasi

Peringatan Hari Otonomi Daerah ke-29 pada 25 April 2025 menjadi momentum penting untuk melakukan evaluasi mendalam terhadap implementasi desentralisasi di Indonesia. Perayaan yang dipusatkan di Balikpapan, dengan Wakil Menteri Dalam Negeri Arya Bima sebagai inspektur upacara, semestinya tidak hanya menjadi seremoni belaka, tetapi juga refleksi kritis terhadap perjalanan otonomi daerah selama ini.

Semangat Reformasi 1998 yang melahirkan otonomi daerah, tampaknya mengalami tantangan serius dalam perjalanannya. Alih-alih semakin maju, otonomi daerah justru menunjukkan gejala kemunduran akibat menguatnya re-sentralisasi dan de-otonomisasi. Penarikan kewenangan sektoral oleh pemerintah pusat, seperti di bidang kehutanan, pertambangan, kelautan dan perikanan, perumahan, serta perizinan, menjadi indikasi nyata erosi otonomi. Padahal, kewenangan tersebut merupakan esensi dari otonomi daerah, yang memungkinkan pemerintah daerah untuk mengurus kepentingan masyarakat, memberikan pelayanan publik, dan mempercepat pembangunan secara mandiri.

Tantangan Fiskal dan Pengendalian Pusat

Selain masalah kewenangan, ketidakadilan fiskal dan pengendalian yang semakin ketat dari pusat juga menjadi persoalan krusial. Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab untuk mengelola 32 urusan pemerintahan, termasuk pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum. Namun, alokasi dana transfer ke daerah hanya sekitar sepertiga dari APBN, padahal jumlah ASN yang bekerja di pemerintah daerah mencapai hampir 80 persen dari total ASN. Kondisi ini jauh berbeda dengan praktik di banyak negara lain, di mana lebih dari separuh anggaran negara dialokasikan ke daerah otonom.

Keterbatasan dana transfer dari pusat memaksa daerah untuk mengandalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, hanya daerah-daerah kaya seperti DKI Jakarta, Kabupaten Badung, dan Kota Tangerang Selatan yang mampu menghasilkan PAD tinggi. Akibatnya, banyak daerah dengan PAD pas-pasan kesulitan membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan layanan publik lainnya. Visi dan misi kepala daerah yang dijanjikan saat kampanye pun sulit terealisasi karena keterbatasan anggaran.

Ironisnya, di tengah keterbatasan anggaran, pemerintah pusat seringkali meminta daerah untuk membantu membiayai program-programnya, seperti program "koperasi desa merah putih" atau bahkan pembangunan fisik kantor instansi pusat. Hal ini semakin membebani pemerintah daerah yang sudah kesulitan keuangan.

Pengendalian pusat juga semakin ketat melalui mekanisme dana transfer ke daerah. Dana Alokasi Umum (DAU), yang seharusnya bersifat block grant, kini lebih terasa seperti Dana Alokasi Khusus (DAK) karena penggunaannya harus sesuai dengan petunjuk pusat. Penatausahaan keuangan daerah juga diseragamkan melalui Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD) yang kaku dan dikelola oleh pusat.

Sentralisasi Kepegawaian dan Produk Hukum

Sentralisasi juga merambah bidang kepegawaian, di mana pemerintah pusat tidak hanya mengelola penerimaan ASN, tetapi juga berencana mengubah aturan terkait mutasi pejabat eselon I dan II di daerah. Revisi UU ASN mengamanatkan bahwa mutasi pejabat tersebut menjadi kewenangan pusat, sehingga kepala daerah tidak lagi memiliki kewenangan dalam pembinaan kepegawaian.

Dalam hal pembuatan produk hukum daerah, seperti Perda dan Perkada, daerah tidak lagi mandiri karena harus berkonsultasi dan mendapatkan persetujuan dari pusat, terutama untuk Perda terkait pajak dan retribusi. Proses ini dapat memakan waktu dan biaya yang signifikan.

Urgensi Revisi UU Pemda

Kondisi otonomi daerah yang semakin merana ini diperparah oleh praktik korupsi dan ketidakamanahan sebagian aktor pemerintahan lokal. Dalam 20 tahun terakhir, lebih dari 400 kepala daerah dan wakil kepala daerah terjerat kasus hukum. Mereka cenderung pragmatis, kurang inovatif, dan tidak memiliki visi yang jelas untuk pembangunan daerah.

Menjelang pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, mendesak dilakukan revisi UU Pemda No 23 Tahun 2014. Beberapa hal pokok yang perlu diperbaiki meliputi:

  • Menata ulang susunan pemerintah daerah.
  • Membenahi pembagian urusan pemerintahan.
  • Memperjelas pembentukan daerah otonom.
  • Menguatkan fiskal daerah.
  • Membenahi manajemen kepegawaian pemerintah daerah.
  • Mengefisienkan pembentukan produk hukum daerah.
  • Menyempurnakan sistem pengawasan.

Dengan perbaikan yang komprehensif, diharapkan otonomi daerah di Indonesia dapat berjalan lebih efektif dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.