Tangis Dedi Mulyadi di Puncak: Sebuah Refleksi atas Kerusakan Lingkungan dan Penghinaan terhadap Budaya Sunda

Tangis Dedi Mulyadi di Puncak: Sebuah Refleksi atas Kerusakan Lingkungan dan Penghinaan terhadap Budaya Sunda

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, baru-baru ini mengungkapkan kepedihan mendalam yang berujung air mata saat menyaksikan kerusakan lingkungan di kawasan Puncak, Bogor. Bukan sekadar reaksi emosional, tangisnya menjadi cerminan keprihatinan yang lebih luas terhadap perusakan ekosistem dan penghinaan terhadap nilai-nilai budaya Sunda yang menganggap gunung sebagai sesuatu yang sakral dan dihormati.

Dalam sebuah pernyataan di Kantor Wali Kota Bekasi, Dedi Mulyadi menjelaskan makna mendalam gunung bagi masyarakat Sunda dan Jawa. Menurutnya, gunung bukan hanya bentang alam biasa, melainkan sumber kehidupan yang dilambangkan dalam ritual tumpeng, simbol kesatuan dan kelimpahan yang berakar dari puncak gunung. Air, danau, sawah, dan kehidupan manusia, semuanya bermula dari sumber mata air di lereng gunung. Oleh karena itu, merusak gunung dan hutan sama artinya dengan menghancurkan sumber kehidupan itu sendiri, sebuah tindakan yang menurutnya tidak bisa ditolerir.

Lebih lanjut, Dedi Mulyadi menuturkan bahwa kesedihannya memuncak ketika melihat aktivitas perusakan lingkungan di Puncak yang dilakukan demi keuntungan komersial. Ia merasa martabatnya sebagai orang Sunda direndahkan oleh tindakan-tindakan tersebut. Kehancuran lingkungan yang terjadi di kawasan wisata Puncak, khususnya alih fungsi lahan yang merambah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), menjadi penyebab utama kesedihannya. Dedi Mulyadi secara khusus mempertanyakan izin pembangunan tempat wisata yang dinilai melanggar aturan dan merusak lingkungan. Ia menyinggung pembangunan Eiger Adventure Land sebagai salah satu contoh nyata dari pembangunan yang berpotensi merusak lingkungan di kawasan Puncak.

Penuturan Dedi Mulyadi tersebut tidak hanya menyoroti masalah lingkungan, melainkan juga menyentil aspek budaya dan kearifan lokal. Air mata yang tertumpah bukan sekadar ekspresi emosi sesaat, melainkan representasi keprihatinan atas hilangnya nilai-nilai luhur yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat Sunda. Kerusakan lingkungan yang terjadi di Puncak adalah bentuk penghinaan terhadap nilai-nilai budaya dan leluhur yang memandang gunung sebagai sesuatu yang harus dijaga dan dihormati.

Tangis Dedi Mulyadi seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan menghormati nilai-nilai budaya lokal. Peristiwa ini sekaligus menjadi momentum untuk mengevaluasi kebijakan dan pengawasan tata ruang yang berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan. Perlu adanya sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan pihak swasta untuk memastikan pembangunan berkelanjutan yang tidak mengorbankan kelestarian lingkungan dan nilai-nilai budaya.

Berikut beberapa poin penting dari pernyataan Dedi Mulyadi: * Gunung sebagai sumber kehidupan dan lambang kesakralan dalam budaya Sunda dan Jawa. * Kerusakan lingkungan di Puncak sebagai bentuk penghinaan terhadap nilai-nilai budaya Sunda. * Perlunya evaluasi kebijakan dan pengawasan tata ruang untuk mencegah kerusakan lingkungan. * Pentingnya sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan swasta untuk pembangunan berkelanjutan.