Penolakan Warga Wonogiri Menguat: Pembangunan Pabrik Semen dan Tambang Gamping Ancam Karst Gunungsewu

Gelombang Protes Warga Pracimantoro Terhadap Rencana Pembangunan Pabrik Semen dan Tambang Gamping

Gelombang penolakan terus bergulir dari masyarakat Pracimantoro, Wonogiri, terhadap rencana pendirian pabrik semen oleh PT Anugerah Andalan Asia (AAA) dan penambangan batu gamping oleh PT Sewu Surya Sejati (SSS). Kekhawatiran utama warga adalah potensi dampak negatif terhadap lahan pertanian mereka dan kelestarian kawasan karst Gunungsewu yang merupakan warisan dunia UNESCO.

Pembangunan pabrik semen seluas 123.315 hektar mengancam mata pencaharian puluhan warga dari Desa Watangrejo, Suci, dan Sambiroto yang selama ini bergantung pada hasil pertanian. Sementara itu, rencana penambangan batu gamping seluas 186,13 hektare mengintai lahan warga di Desa Watangrejo, Suci, Gambirmanis, Joho, dan Petirsari. Proyek penambangan ini akan digunakan untuk bahan baku semen milik PT Sewu Surya Sejati (SSS). Polemik perizinan dan dugaan kurangnya sosialisasi menjadi pemicu utama penolakan warga.

Kejanggalan dalam Proses Perizinan dan Sosialisasi

Warga Pracimantoro menyoroti sejumlah kejanggalan dalam proses perizinan, terutama terkait Analisis Dampak Lingkungan (Amdal). Izin Amdal untuk pabrik semen tiba-tiba terbit pada tahun 2024 tanpa sepengetahuan pemilik lahan atau sosialisasi yang memadai. Padahal, pada tahun 2022-2023, tim peneliti telah melakukan survei di lahan tersebut tanpa izin yang jelas, sehingga menimbulkan kecurigaan di kalangan warga.

Suryanto, Juru Bicara Warga Pracimantoro, mengungkapkan kekecewaannya terhadap proses Amdal yang dinilai tidak transparan. Ia menyatakan bahwa warga tidak dilibatkan dalam penyusunan Amdal, sehingga mereka merasa hak-haknya diabaikan. Warga juga mempertanyakan motif tim peneliti yang melakukan survei tanpa memberikan informasi yang jelas mengenai tujuan mereka.

Warga baru mengetahui keberadaan Amdal sekitar bulan Desember setelah ramai dibicarakan oleh para aktivis lingkungan. Mereka merasa peta Amdal yang disusun secara detail tidak melibatkan pemilik lahan sama sekali. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa telah terjadi perampasan hak atas tanah tanpa izin pemiliknya.

Setelah itu, 97 warga pemilik lahan dipanggil oleh kepala desa dan diminta untuk menjual lahan kepada pemilik pabrik semen dengan harga mulai dari Rp 50.000 per meter persegi. Hal ini membuat warga kaget dan merasa tertekan.

Penolakan Warga dan Pembentukan Paguyuban Tandingan

Warga Pracimantoro bersatu untuk menolak rencana pembangunan pabrik semen dan penambangan batu gamping. Mereka membentuk Paguyuban Tali Jiwo (Tolak Ambisi Liar Industri Jagad Ijo Wasis Aji) sebagai wadah perjuangan mereka. Iming-iming perekrutan sebagai buruh pabrik dengan gaji bulanan Rp 2,5 juta tidak menarik bagi warga yang selama ini hidup sejahtera dari hasil pertanian.

Berbagai upaya pendekatan dan bujukan yang dilakukan oleh kepala desa dan istrinya tidak berhasil merayu warga. Ironisnya, kepala desa justru membentuk paguyuban tandingan yang mendukung pembangunan pabrik dan tambang, yaitu Paguyuban Cinta Pracimantoro (PCP). Aksi penolakan warga terus berlanjut dengan menyurati Bupati Wonogiri dan DPRD Wonogiri. Meskipun audiensi telah dilakukan dengan DPRD, namun belum ada titik terang hingga saat ini.

Ancaman terhadap Karst Gunungsewu dan Lingkungan Hidup

Selain merenggut ruang hidup warga, proyek ini juga mengancam keberadaan bentang alam Karst Gunungsewu yang telah ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark pada tahun 2015. Geopark Gunung Sewu membentang melintasi tiga provinsi, yaitu Gunung Kidul (Daerah Istimewa Yogyakarta), Wonogiri (Jawa Tengah), dan Pacitan (Jawa Timur).

Di Wonogiri, Gunungsewu meliputi area seluas 14.223 hektare di lima kecamatan, yaitu Eromoko, Pracimantoro, Paranggupito, Giritontro, dan Giriwoyo. Warga khawatir aktivitas penambangan akan merusak keunikan geologi dan keanekaragaman hayati kawasan karst ini.

Kepala DLHK Jateng Widi Hartanto mengklaim bahwa rencana penambangan tidak berada di kawasan geopark. Namun, warga meyakini bahwa area yang akan ditambang masih merupakan bagian dari kesatuan Gunungsewu. Mereka juga menyoroti perubahan status Desa Watangrejo dari kawasan karst kelas 1 yang dilindungi menjadi di luar kawasan lindung pada tahun 2014, yang diduga dilakukan secara politis.

Penolakan warga semakin kuat karena mereka menyadari dampak negatif aktivitas tambang dan pabrik semen terhadap lingkungan dan sumber air bersih. Mereka khawatir akan terjadi kerusakan lingkungan seperti yang terjadi di daerah lain seperti Kendeng. Metode penambangan dengan peledakan (blasting) juga menimbulkan kekhawatiran akan debu, hilangnya sumber air, dan lontaran kerikil ke lahan atau rumah warga.

Warga juga menolak menjual tanah mereka karena alasan psikologis dan nilai-nilai yang diwariskan dari nenek moyang. Mereka merasa memiliki ikatan emosional dengan tanah tersebut dan tidak ingin melepaskannya demi keuntungan sesaat.

Industri Ekstraktif dan Kesejahteraan Rakyat: Sebuah Tinjauan Kritis

Juru Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Alfarhat Kasman, menegaskan bahwa tidak ada bukti bahwa industri ekstraktif berhasil menyejahterakan warga. Sebaliknya, yang terjadi adalah kemiskinan masif karena ruang hidup warga terganggu dan dirusak. Sumber pangan dan ekonomi warga dihancurkan, dan hal ini merupakan bagian tak terpisahkan dari operasi pertambangan.

Alfarhat menambahkan bahwa narasi tentang kesejahteraan bagi warga terdampak pabrik semen dan aktivitas tambang adalah menyesatkan. Narasi ini sengaja dibuat untuk melancarkan operasi produksi semen atau eksploitasi pertambangan batu gamping. Ia menekankan bahwa masyarakat yang hidup dari aktivitas tambang dan pabrik semen akan menjadi ketergantungan pada uang tunai dari upah perusahaan, sementara mereka kehilangan kemandirian dalam memenuhi kebutuhan hidup dari hasil pertanian dan peternakan.

Selain itu, kerusakan kawasan karst akibat aktivitas tambang akan berdampak negatif terhadap fungsi karst sebagai tempat penampungan air. Warga akan kesulitan mendapatkan air bersih dan harus mengeluarkan biaya lebih banyak untuk membeli air bersih. Ancaman pencemaran udara dari aktivitas peledakan tambang juga menjadi perhatian utama. Pengusaha tidak memberikan jaminan perlindungan kesehatan warga, dan mereka harus menanggung biaya pengobatan sendiri.

Dengan demikian, penolakan warga Pracimantoro terhadap pembangunan pabrik semen dan penambangan batu gamping merupakan bentuk perlawanan terhadap ancaman kerusakan lingkungan, hilangnya mata pencaharian, dan perampasan hak atas tanah. Mereka berjuang untuk melindungi warisan alam Gunungsewu dan mempertahankan keberlanjutan hidup mereka sebagai petani.