Dilema TKDN: Antara Perlindungan Industri Nasional dan Tekanan Global
Kebijakan TKDN di Persimpangan Jalan: Studi Kasus Indonesia
Kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) kembali menjadi pusat perhatian dalam dinamika perdagangan internasional Indonesia, khususnya setelah negosiasi bilateral dengan Amerika Serikat pada April 2025. Pemerintah AS, berlandaskan laporan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers (NTE) 2025, mendesak Indonesia untuk melonggarkan ketentuan TKDN yang dianggap sebagai penghalang bagi produk-produk Amerika memasuki proyek-proyek pemerintah Indonesia. Desakan ini terutama menyoroti sektor-sektor strategis seperti energi, telekomunikasi, dan farmasi.
Namun, tekanan eksternal ini hanyalah satu sisi dari mata uang. Di dalam negeri, industri Indonesia bergulat dengan tantangan implementasi TKDN. Banyak pelaku industri merasa terjebak antara kewajiban memenuhi persyaratan TKDN dan kebutuhan untuk menjaga efisiensi serta daya saing. Isu-isu klasik seperti keterbatasan pasokan komponen lokal, kualitas yang belum konsisten, dan harga yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan produk impor terus menghantui.
TKDN dalam Perspektif Global
Perlu dicatat bahwa kebijakan TKDN bukanlah fenomena unik Indonesia. Banyak negara di seluruh dunia, termasuk negara-negara maju, menerapkan kebijakan serupa sebagai bagian dari strategi pembangunan industri nasional mereka. Di tengah ketegangan geopolitik dan disrupsi rantai pasok global, kebijakan preferensi terhadap produk lokal justru semakin menguat.
Amerika Serikat, misalnya, memperkuat Buy American Act melalui Infrastructure Investment and Jobs Act tahun 2021, yang mewajibkan penggunaan minimal 55% komponen dalam negeri untuk proyek-proyek federal. Selain itu, Inflation Reduction Act (IRA) 2022 memberikan insentif penuh untuk kendaraan listrik hanya jika sebagian besar baterai dan mineral pentingnya berasal dari AS atau mitra dagang FTA.
India menjalankan program "Make in India" dengan menetapkan ambang batas kandungan lokal di berbagai sektor strategis. Uni Eropa, meskipun secara normatif menolak proteksionisme, menerapkan mekanisme seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang secara tidak langsung memberikan preferensi kepada produk yang diproduksi di dalam UE atau oleh mitra dekatnya.
Jepang menerapkan prinsip Value for Money dalam pengadaan pemerintah, yang memberikan bobot tambahan terhadap efisiensi jangka panjang dan nilai tambah domestik. Korea Selatan secara aktif menerapkan kebijakan substitusi impor dengan memberikan insentif kepada perusahaan yang mampu menggantikan produk impor, terutama di sektor semikonduktor, permesinan, baterai, dan energi terbarukan.
Perlindungan Industri Nasional di Tengah Gempuran Impor
Salah satu alasan utama penerapan TKDN di Indonesia adalah untuk melindungi industri dalam negeri dari gempuran produk impor yang seringkali tidak mencerminkan persaingan yang sehat. Banyak produk impor, terutama dari China, masuk ke pasar Indonesia dengan harga yang tidak wajar karena didukung oleh berbagai bentuk subsidi dan dukungan negara.
Baja, tekstil, petrokimia, elektronika, hingga komponen energi adalah sektor-sektor yang paling merasakan dampak negatif dari praktik ini. Produk baja dari China, misalnya, dijual dengan harga yang lebih rendah dari biaya produksi lokal karena perusahaan-perusahaan di sektor ini menerima dukungan pembiayaan, subsidi energi, dan insentif lainnya.
Uni Eropa dan Jepang juga menerapkan kebijakan yang secara tidak langsung berkontribusi pada masuknya produk bersubsidi ke pasar Indonesia. Produsen manufaktur Eropa mendapat dukungan riset, pembebasan pajak karbon, dan pengurangan biaya logistik untuk ekspor. Produsen otomotif dan komponen Jepang mendapat insentif dalam bentuk pembebasan bea untuk bahan baku impor dan akses kepada dana R&D negara.
Kebijakan TKDN menjadi salah satu instrumen untuk memberikan ruang tumbuh bagi industri dalam negeri di tengah persaingan yang tidak setara. Tanpa tindakan korektif, Indonesia berisiko menjadi pasar akhir dari kelebihan pasokan industri negara lain, yang dapat menyebabkan deindustrialisasi, pengangguran, dan runtuhnya rantai pasok domestik.