Profesor Unhan Tarik Gugatan UU TNI di Mahkamah Konstitusi Pasca-Pengesahan UU Baru
Guru Besar Universitas Pertahanan (Unhan), Kolonel Sus Mhd. Halkis, secara resmi mencabut permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Mahkamah Konstitusi (MK). Pencabutan ini dilakukan setelah pengesahan UU TNI yang baru, yang menurut Halkis, menyebabkan gugatannya kehilangan objek.
Sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo pada hari Jumat, 25 April 2025, di Gedung MK, Jakarta Pusat, mengagendakan konfirmasi terkait pencabutan tersebut. Suhartoyo menyampaikan bahwa Majelis Hakim telah menerima surat pencabutan permohonan perkara ini dan meminta konfirmasi dari Prof. Halkis atau kuasa hukumnya.
Halkis mengonfirmasi pencabutan tersebut, dengan menyatakan bahwa pengesahan UU TNI yang baru telah menghilangkan dasar hukum (lost object) dari gugatannya. Merespon hal ini, Suhartoyo menyatakan sidang ditutup dan perkara ini akan dibawa ke rapat permusyawaratan hakim (RPH).
Sebelumnya, Halkis mengajukan uji materi terhadap UU TNI yang lama dengan alasan bahwa undang-undang tersebut dianggap mengekang hak-hak prajurit sebagai warga negara. Menurutnya, definisi tentara profesional dalam Pasal 2 huruf d UU TNI tidak tepat karena menggunakan pendekatan negatif dan tidak memberikan definisi positif mengenai apa itu tentara profesional. Ia berpendapat bahwa rumusan tersebut hanya menyebutkan larangan-larangan, yang berpotensi menimbulkan kesalahpahaman tentang profesionalisme militer.
Pasal 2 huruf d UU TNI mendefinisikan tentara profesional sebagai prajurit yang terlatih, terdidik, diperlengkapi dengan baik, tidak terlibat dalam politik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya. Halkis berpendapat bahwa tentara profesional seharusnya dimaknai sebagai prajurit yang menjalankan tugas negara secara netral, berbasis kompetensi, dan memiliki hak dalam aspek ekonomi serta jabatan publik.
Lebih lanjut, Halkis menyoroti Pasal 39 ayat (3) UU TNI yang melarang prajurit untuk berbisnis. Ia berargumentasi bahwa larangan ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Halkis mencontohkan praktik di Amerika Serikat dan Jerman, di mana prajurit diizinkan memiliki usaha dengan mekanisme pengawasan yang jelas. Ia menilai bahwa larangan berbisnis di Indonesia, sementara jaminan kesejahteraan prajurit belum memadai, dapat menyebabkan ketimpangan ekonomi, terutama setelah pensiun. Ia menekankan bahwa jika larangan tersebut tetap diberlakukan, negara wajib memberikan jaminan ekonomi yang layak bagi prajurit selama bertugas dan setelah purna tugas.