Ancaman Tarif AS Bayangi Surplus Perdagangan Indonesia Meski Masih Solid
Surplus Perdagangan Indonesia Terancam Kebijakan Tarif Amerika Serikat
Gebrakan kebijakan tarif yang diterapkan oleh Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump mulai memberikan dampak terhadap aktivitas perdagangan internasional, termasuk Indonesia. Implementasi tarif universal sejak awal April 2025 lalu, memicu respons cepat dari para pelaku usaha untuk mempercepat laju ekspor sebelum kebijakan tersebut resmi diberlakukan.
Josua Pardede, seorang pakar ekonomi dari Permata Bank, mengungkapkan bahwa hingga bulan Maret 2025, Indonesia masih mampu mempertahankan surplus perdagangan yang cukup kuat. Angka surplus pada Maret mencapai 4,33 miliar dollar AS, menunjukkan peningkatan dibandingkan bulan sebelumnya. Kinerja positif ini didukung oleh lonjakan ekspor di sektor logam dan mineral, seperti nikel, tembaga, besi, dan baja.
"Peningkatan ekspor ke Amerika Serikat, terutama untuk produk-produk manufaktur seperti mesin listrik dan alas kaki, mencapai angka 20 persen secara tahunan. Hal ini mengindikasikan adanya upaya dari para pelaku usaha untuk meningkatkan ekspor sebelum tarif baru diberlakukan," jelas Josua.
Fenomena Front-Loading dan Potensi Tekanan di Masa Depan
Menurut Josua, lonjakan permintaan yang terjadi saat ini kemungkinan besar hanya merupakan fenomena front-loading. Kondisi ini berpotensi memicu tekanan penurunan dalam waktu dekat. Meskipun kontribusi ekspor Indonesia ke AS hanya sebesar 1,9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2024, lebih dari separuh surplus perdagangan Indonesia berasal dari transaksi dengan AS.
"Oleh karena itu, jika kebijakan tarif ini terus berlanjut atau bahkan diperluas, surplus perdagangan yang ada saat ini berisiko tergerus secara signifikan," tegasnya.
Dampak Proteksionisme Global
Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan World Economic Outlook edisi April 2025 juga menyoroti munculnya gelombang baru proteksionisme global. Ketidakpastian dalam kebijakan perdagangan meningkatkan volatilitas pasar, memperlambat pertumbuhan ekonomi global, dan memecah perdagangan ke dalam blok-blok geopolitik.
Beberapa sektor ekspor Indonesia sudah mulai merasakan tekanan, terutama komoditas primer seperti batu bara dan crude palm oil (CPO). Nilai ekspor batu bara mengalami penurunan akibat harga global yang merosot ke titik terendah sejak Mei 2021. Ekspor CPO juga melemah karena penurunan permintaan dari India.
Di sisi lain, industri pengolahan justru menunjukkan resiliensi. Permintaan yang tinggi dari China dan AS sebelum pemberlakuan tarif mendorong pertumbuhan sektor manufaktur logam dan produk elektronik.
Antisipasi dan Strategi untuk Menghadapi Tantangan
Josua memprediksi bahwa risiko utama yang akan dihadapi Indonesia ke depan adalah penurunan volume perdagangan global. Ketegangan perdagangan antara AS dan China berpotensi meningkat, memaksa negara-negara seperti Indonesia untuk mengambil posisi geopolitik tertentu.
"Kondisi ini tidak hanya akan berdampak pada kinerja ekspor, tetapi juga terhadap sentimen investasi, arus modal, dan stabilitas nilai tukar. Implikasi jangka menengahnya adalah kemungkinan pelebaran defisit transaksi berjalan Indonesia dan tekanan terhadap nilai tukar rupiah," jelasnya.
Untuk menghadapi tantangan ini, Josua menekankan perlunya percepatan diversifikasi pasar ekspor dan hilirisasi industri. Peluang dari relokasi rantai pasok global juga harus dimanfaatkan secara optimal.
"Sektor-sektor yang berorientasi pada manufaktur berbasis logam, elektronik, dan barang konsumen bernilai tambah memiliki prospek yang lebih baik. Sementara itu, sektor berbasis komoditas mentah seperti energi dan CPO lebih rentan terhadap gejolak harga global dan tekanan permintaan," pungkasnya.
Berikut beberapa langkah yang dapat diambil untuk menjaga surplus perdagangan:
- Diversifikasi pasar ekspor untuk mengurangi ketergantungan pada satu negara.
- Hilirisasi industri untuk meningkatkan nilai tambah produk ekspor.
- Memanfaatkan peluang dari relokasi rantai pasok global.
- Fokus pada pengembangan sektor manufaktur berbasis logam, elektronik, dan barang konsumen bernilai tambah.