Perjuangan Sarjana Disabilitas di Tangerang: Impian Pekerjaan yang Belum Terwujud
Di tengah hiruk pikuk Kota Tangerang, terdapat kisah seorang sarjana sistem informasi, Mega (32), yang berjuang menembus tembok diskriminasi untuk meraih impiannya: sebuah pekerjaan yang layak. Lulus dari Universitas Raharja pada tahun 2017, Mega, seorang penyandang disabilitas, menghadapi kenyataan pahit bahwa gelar sarjana tak menjamin pintu perusahaan akan terbuka lebar baginya.
Kegigihan Mega dalam mencari nafkah patut diacungi jempol. Setiap hari, ia mengirimkan setidaknya sepuluh lamaran kerja, berharap ada perusahaan yang melihat potensi dirinya, bukan keterbatasannya. Posisi admin menjadi incaran utamanya, sebuah pekerjaan yang ia yakini mampu dikerjakan dengan baik. Namun, harapan itu kerap kali pupus saat berhadapan dengan stigma dan prasangka.
Ibunda Mega, Titi (56), dengan setia mendampingi putrinya dalam setiap langkah. Ia menceritakan pengalaman pahit saat Mega menghadapi perlakuan tidak menyenangkan dari oknum HRD yang menirukan cara bicaranya yang kurang lancar. Luka ini membekas di hati Mega, namun tak memadamkan semangatnya untuk terus berjuang.
Sejak kecil, Mega memiliki cita-cita mulia: menjadi seorang dokter. Namun, menyadari keterbatasan dalam berkomunikasi, ia memilih jurusan Sistem Informasi sebagai alternatif. Pilihan ini diambil dengan harapan dapat berkontribusi bagi keluarga dan membuktikan bahwa disabilitas bukanlah penghalang untuk meraih kesuksesan.
Semangat belajar Mega sejak kecil sangat membanggakan. Titi menceritakan bagaimana putrinya selalu bersemangat dalam menuntut ilmu, bahkan berhasil meraih peringkat kedua dalam kegiatan pengajian di madrasah. Prestasi ini menjadi bukti bahwa Mega memiliki potensi yang luar biasa, meskipun menghadapi tantangan yang lebih berat dibandingkan teman-temannya.
Titi, yang sebelumnya berprofesi sebagai guru TK honorer, kini memilih untuk fokus mendampingi Mega. Keputusan ini diambil karena ia ingin memberikan dukungan penuh kepada putrinya dalam mencari pekerjaan. Ia berharap ada perusahaan yang bersedia memberikan kesempatan kepada Mega untuk membuktikan kemampuannya.
"Dia ini anak saya satu-satunya. Dia semangat sekolah, enggak ada bolos. Semoga dia bisa mendapatkan pekerjaan, kasihan lihat dia sudah bertahun-tahun nganggur," ujar Titi dengan nada penuh harap.
Meskipun perjalanan ini penuh dengan tantangan, Mega dan Titi tak pernah menyerah. Mereka berharap agar perusahaan-perusahaan di luar sana dapat lebih bijak dalam menilai potensi calon karyawan, tidak hanya berdasarkan penampilan fisik atau cara berbicara, tetapi juga berdasarkan kemampuan dan dedikasi.
Kisah Mega adalah potret buram realita yang dihadapi oleh banyak penyandang disabilitas di Indonesia. Diskriminasi dan stigma masih menjadi tembok penghalang yang sulit ditembus. Namun, semangat dan kegigihan Mega adalah secercah harapan bahwa perubahan akan datang. Bahwa suatu saat nanti, disabilitas tidak lagi menjadi penghalang untuk meraih impian dan berkontribusi bagi bangsa.