Sri Mulyani Soroti Kebijakan Tarif AS: Persepsi Korban Globalisasi Mendorong Reformasi Perdagangan
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyoroti pandangan Amerika Serikat (AS) yang merasa menjadi korban globalisasi, sebagai pemicu utama kebijakan tarif impor yang dikenal sebagai 'Tarif Trump'. Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers daring dari Washington DC, di sela-sela pertemuan dengan para pemangku kebijakan ekonomi global.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa persepsi AS ini mendorong urgensi untuk mereformasi rezim perdagangan global. Diskusi mengenai reformasi ini menjadi agenda penting dalam forum-forum internasional, termasuk pertemuan G20. Menurutnya, pesan khusus yang disampaikan AS dalam pertemuan Bank Dunia dan IMF Spring Meeting, serta negosiasi tarif dengan berbagai negara, mengindikasikan keinginan untuk menyeimbangkan kembali hubungan dagang dengan mitra-mitranya. Upaya penyeimbangan ini diharapkan dapat menciptakan hubungan yang lebih adil bagi kedua belah pihak, melalui koreksi kebijakan di dalam negeri AS maupun negara-negara mitra dagang.
Saat ini, tarif timbal balik sebesar 10 persen masih berlaku selama 90 hari. Dampak penerapan tarif ini sudah mulai terlihat pada penurunan jumlah pengiriman barang antar negara. Hal ini tentu menjadi perhatian para pembuat kebijakan, karena berpotensi memengaruhi proyeksi pertumbuhan ekonomi global. Sri Mulyani menekankan pentingnya mengantisipasi dampak tersebut bagi seluruh negara di dunia.
Dalam pembicaraan dengan Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, terungkap bahwa proses penyeimbangan kembali hubungan dagang diperkirakan membutuhkan waktu dua hingga tiga tahun. Bessent juga menyampaikan apresiasi kepada Indonesia sebagai negara yang mengambil langkah awal (early mover) dalam merespons kebijakan tarif AS. Menurutnya, Presiden Trump cenderung menghargai negara yang mengambil inisiatif terlebih dahulu. Namun, Sri Mulyani menegaskan bahwa keputusan akhir tetap berada di tangan Presiden Trump. Oleh karena itu, penting untuk terus menjalin komunikasi dan menyampaikan proposal yang saling menguntungkan bagi Indonesia dan AS.
Seperti diketahui, Presiden Trump mengumumkan kebijakan tarif resiprokal pada 2 April 2025, yang berdampak pada Indonesia dengan potensi kenaikan tarif impor hingga 32 persen. Beberapa negara merespons dengan pembalasan tarif, namun Indonesia memilih jalur negosiasi. AS kemudian menunda penerapan tarif resiprokal selama 90 hari bagi negara yang tidak melakukan retaliasi, termasuk Indonesia. Meskipun demikian, tarif dasar universal sebesar 10 persen tetap diberlakukan.
Berikut adalah poin-poin penting yang perlu diperhatikan:
- Persepsi AS sebagai korban globalisasi mendorong penerapan 'Tarif Trump'.
- Reformasi perdagangan global menjadi agenda penting dalam forum internasional.
- AS menginginkan penyeimbangan kembali hubungan dagang dengan mitra.
- Tarif timbal balik 10 persen berdampak pada penurunan pengiriman barang antar negara.
- Proses penyeimbangan kembali hubungan dagang diperkirakan membutuhkan waktu 2-3 tahun.
- Indonesia memilih jalur negosiasi dalam merespons kebijakan tarif AS.
Implikasi dari kebijakan tarif AS dan respons global terhadapnya akan terus menjadi perhatian utama bagi para pembuat kebijakan ekonomi di seluruh dunia.