Direktur JAK TV Jadi Tahanan Kota karena Alasan Kesehatan
Kejaksaan Agung (Kejagung) mengubah status penahanan Tian Bahtiar, Direktur Pemberitaan JAK TV nonaktif, menjadi tahanan kota. Perubahan ini dilakukan dengan pertimbangan kondisi kesehatan Tian Bahtiar.
"Benar, penahanan dialihkan karena alasan kesehatan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, saat dikonfirmasi awak media pada Jumat (25/4/2025).
Menurut Harli Siregar, penangguhan penahanan sudah berlaku sejak Kamis (24/4/2025) sore. Meskipun demikian, Harli belum memberikan detail mengenai penyakit yang diderita Tian Bahtiar hingga menyebabkan perubahan status penahanannya.
Sebelumnya, Tian Bahtiar ditetapkan sebagai tersangka pada Selasa (22/4/2025) dini hari dan ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung bersama dengan tersangka lainnya.
Penetapan tersangka terhadap Tian Bahtiar sempat menuai polemik. Dewan Pers bahkan telah bersurat kepada Kejaksaan Agung agar mempertimbangkan pengalihan atau penangguhan penahanan yang bersangkutan. Tujuannya adalah untuk memfasilitasi proses pemeriksaan etik yang mungkin diperlukan. Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menyatakan bahwa keputusan terkait pengalihan penahanan sepenuhnya berada di tangan Kejaksaan Agung.
Saat ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus ini, yaitu Marcella Santoso (MS) seorang advokat, Junaedi Saibih (JS) seorang advokat, dan Tian Bahtiar (TB) selaku Direktur Pemberitaan JAK TV. Ketiganya diduga terlibat dalam upaya menghalangi penyidikan, penuntutan, dan pengadilan dalam tiga perkara berbeda.
Kasus-kasus tersebut meliputi dugaan korupsi di PT Timah, dugaan impor gula ilegal, dan dugaan suap dalam penanganan perkara ekspor Crude Palm Oil (CPO). Penetapan tersangka ini merupakan hasil pengembangan penyidikan kasus dugaan suap penanganan perkara ekspor CPO yang melibatkan tiga korporasi besar, yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group yang saat ini tengah bergulir di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Kasus ini bermula dari penetapan delapan tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait vonis lepas ekspor CPO terhadap tiga perusahaan yang sama. Mereka adalah Muhammad Arif Nuryanta, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Wahyu Gunawan (WG), Panitera Muda Perdata Jakarta Utara, serta kuasa hukum korporasi, Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri.
Selain itu, tiga majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ekspor CPO, yaitu Djuyamto selaku ketua majelis, serta Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom selaku anggota, juga ditetapkan sebagai tersangka. Terakhir, Muhammad Syafei dari Social Security Legal Wilmar Group ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menyiapkan dana suap sebesar Rp 60 miliar untuk hakim Pengadilan Tipikor Jakarta melalui pengacaranya.
Kejaksaan menduga bahwa Muhammad Arif Nuryanta, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, menerima suap sebesar Rp 60 miliar. Sementara itu, tiga hakim, Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom, sebagai majelis hakim, diduga menerima uang suap sebesar Rp 22,5 miliar. Suap tersebut diduga diberikan dengan tujuan agar majelis hakim yang menangani kasus ekspor CPO memberikan vonis lepas atau ontslag van alle recht vervolging. Ontslag van alle recht vervolging sendiri adalah putusan hakim yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, tetapi perbuatan tersebut tidak termasuk dalam kategori tindak pidana.