Eks Komisioner DKPP Ajukan Uji Materi UU Pemilu ke MK, Ingin Lembaga Setara KPU dan Bawaslu
Mantan Komisioner Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) melayangkan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan ini diajukan dengan tujuan agar DKPP memiliki kedudukan yang setara dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai lembaga yang mandiri.
Sandy Yudha Pratama Hulu, kuasa hukum para pemohon dalam Perkara Nomor 34/PUU-XXIII/2025, menyampaikan dalam sidang pendahuluan di MK bahwa DKPP seharusnya diintegrasikan sebagai bagian tak terpisahkan dari fungsi penyelenggaraan pemilu bersama dengan lembaga penyelenggara pemilu lainnya. Gugatan ini diajukan oleh empat mantan komisioner DKPP, yaitu Muhammad, Nur Hidayat Sardini, Ferry Fathurokhman, dan Firdaus. Mereka berpendapat bahwa DKPP seharusnya dipisahkan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan nomenklaturnya diubah dari sekretariat menjadi sekretariat jenderal. Perubahan ini diharapkan dapat menjamin independensi DKPP dan menghindarkannya dari intervensi pihak manapun.
Para pemohon berargumentasi bahwa saat ini terdapat ketidaksetaraan antara DKPP dengan KPU dan Bawaslu, terutama dalam hal status administratif dan otonomi anggaran. Ketidaksetaraan ini dinilai menyebabkan ketidakseimbangan dalam struktur kelembagaan dan kewenangan antara DKPP dengan KPU dan Bawaslu. Salah satu contoh ketimpangan yang disoroti adalah perbedaan dalam pengelolaan kesekretariatan. KPU dan Bawaslu memiliki sekretariat jenderal sendiri, sementara DKPP masih berbentuk sekretariat yang berada di bawah naungan Kemendagri.
Gugatan uji konstitusionalitas ini menyasar Pasal 162 dan Pasal 163 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU Pemilu. Pasal-pasal tersebut dinilai menimbulkan ketidakmandirian dan ketergantungan DKPP terhadap pemerintah, terutama terkait dengan prosedur pengangkatan sekretaris DKPP melalui Kemendagri, pengelolaan anggaran, dan status administratif di bawah Kemendagri. Para pemohon berpendapat bahwa keberadaan pasal-pasal yang diuji tersebut bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1), Pasal 22E ayat (5), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Apabila nomenklatur DKPP diperkuat menjadi sekretariat jenderal, jabatan pada lembaga yang bertugas memeriksa dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu ini akan setara dengan pejabat eselon I yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Para pemohon meyakini bahwa penguatan ini diperlukan untuk menjamin DKPP dapat melaksanakan tugas, kewenangan, dan kewajibannya secara profesional, independen, dan akuntabel sebagai salah satu badan penyelenggara pemilu.
Berdasarkan argumentasi tersebut, para pemohon mengajukan permohonan perubahan terhadap sejumlah pasal dalam UU Pemilu. Berikut adalah poin-poin perubahan yang diminta:
- Pasal 162 UU Pemilu diubah dari "untuk mendukung kelancaran tugas dan wewenang DKPP, dibentuk sekretariat DKPP" menjadi "untuk mendukung kelancaran tugas dan wewenang DKPP, dibentuk sekretariat jenderal DKPP".
- Pasal 163 ayat (1) UU Pemilu dimohonkan untuk diubah dari "sekretariat DKPP dipimpin oleh seorang sekretaris" menjadi "sekretariat jenderal DKPP dipimpin oleh seorang sekretaris jenderal".
- Pasal 163 ayat (2) UU Pemilu diubah dari "sekretaris DKPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan aparatur sipil negara dengan jabatan pimpinan tinggi pratama" menjadi "sekretaris jenderal DKPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan ASN dengan jabatan pimpinan tinggi madya".
- Pasal 163 ayat (3) diubah dari "sekretaris DKPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri" menjadi "sekretaris jenderal DKPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul DKPP".
- Pasal 163 ayat (4) diubah dari "sekretaris DKPP bertanggung jawab kepada Ketua DKPP" menjadi "sekretaris jenderal DKPP bertanggung jawab kepada Ketua DKPP".