Kasus Dugaan Asusila Rektor Nonaktif Universitas Pancasila: Korban Desak Gelar Perkara Khusus di Mabes Polri

Kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan Rektor Universitas Pancasila (UP) nonaktif, Edie Toet Hendratno, terus bergulir. Kuasa hukum korban, Yansen Ohoirat, menyampaikan permohonan mendesak agar Direktorat Tindak Pidana Perlindungan Perempuan dan Anak-Pidana Perdagangan Orang (PPA/PPO) Bareskrim Polri segera menggelar perkara secara khusus. Langkah ini diambil karena pihak korban merasa ada kejanggalan dalam proses penyidikan yang berjalan di Polda Metro Jaya.

Menurut Yansen, lambatnya penetapan status tersangka terhadap Edie Toet Hendratno, meskipun kasus ini telah naik ke tahap penyidikan sejak tahun 2024, menimbulkan kecurigaan adanya indikasi ketidakberesan dalam penanganan perkara. Ia mengungkapkan kekhawatiran akan adanya intervensi atau pengaruh tertentu yang menghambat proses hukum. “Kami melihat dan mencurigai bahwa ada sesuatu yang tidak benar dengan PMJ (Polda Metro Jaya),” tegas Yansen kepada awak media di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Jumat (25/4/2025).

Selain itu, Yansen juga mengumumkan bahwa dua korban baru telah melaporkan dugaan tindakan asusila yang dilakukan oleh Edie Toet Hendratno ke Bareskrim Polri. Dengan tambahan ini, total korban yang melapor menjadi empat orang. Identitas kedua korban baru tersebut adalah AIR dan AM.

Menurut penuturan Yansen, peristiwa yang dialami IR terjadi pada tahun 2019 di Jakarta Selatan. Tindakan yang dialami korban berupa pelecehan fisik. Yansen menjelaskan, “Ada pemaksaan dari ETH kepada korban untuk memegang alat kelamin dari si ETH. Ini terjadi.” Yansen menambahkan bahwa IR merupakan seorang pegawai swasta yang berurusan dengan pihak kampus. Ia menduga bahwa Edie Toet Hendratno memanfaatkan relasi kuasa yang dimilikinya di lingkungan kampus untuk melakukan tindakan pelecehan tersebut.

Korban lainnya, AM, mengalami pelecehan secara verbal pada bulan Februari 2024. Peristiwa tersebut terjadi saat proses mediasi antara korban dengan Edie Toet Hendratno dan timnya di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta. Yansen menjelaskan bahwa Edie Toet Hendratno menyampaikan kata-kata yang tidak pantas di hadapan umum. “Itu secara verbal disampaikan dengan kata-kata yang tidak sepantasnya di hadapan umum. Dan kata-kata verbal itu direspon dengan tim yang hadir saat itu dengan tertawa. Jadi mereka menganggap ucapan-ucapan yang memang melecehkan itu sesuatu yang biasa. Apalagi yang hadir adalah akademisi,” ujar Yansen.

Yansen menambahkan bahwa para korban membutuhkan waktu untuk mengumpulkan keberanian dan meyakinkan diri untuk melaporkan kejadian tersebut. Rasa takut terhadap relasi kuasa yang dimiliki oleh pelaku menjadi salah satu faktor yang menghambat para korban untuk segera melapor.

Rincian Korban:

  • Korban 1 & 2: Telah melapor sebelumnya, detail kasus tidak disebutkan dalam berita.
  • Korban 3 (AIR): Pelecehan fisik pada tahun 2019 di Jakarta Selatan. Pemaksaan memegang alat kelamin pelaku.
  • Korban 4 (AM): Pelecehan verbal pada Februari 2024 saat mediasi. Ucapan tidak pantas di depan umum.