Masjid UGM Tegaskan Netralitas Politik, Pendidikan Politik Tetap Dibuka

Masjid UGM Tegaskan Netralitas Politik, Pendidikan Politik Tetap Dibuka

Polemik muncul menyusul komentar Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, terkait ceramah Anies Baswedan di Masjid Kampus Universitas Gajah Mada (UGM) pada Senin, 3 Maret 2025. Antoni menyoroti muatan politik dalam ceramah tersebut. Menanggapi hal ini, Ketua Takmir Masjid Kampus UGM, Mohamad Yusuf, memberikan klarifikasi penting terkait posisi masjid dalam konteks politik dan pendidikan politik.

Yusuf dengan tegas menyatakan bahwa Masjid Kampus UGM tidak melarang pembahasan isu politik, namun menekankan pentingnya membedakan antara politik praktis dan pendidikan politik. Ia menjelaskan bahwa ceramah Anies Baswedan, yang dinilai Antoni sarat sindiran politik, lebih tepat dimaknai sebagai upaya pendidikan politik, yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman publik terhadap kondisi negara. "Pendidikan politik bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman warga negara akan isu-isu politik dan pemerintahan, bukan untuk mendukung atau menentang kandidat tertentu," ujar Yusuf dalam wawancara dengan Kompas.com pada Jumat, 7 Maret 2025.

Lebih lanjut, Yusuf menegaskan komitmen Masjid Kampus UGM terhadap netralitas politik dalam konteks pemilihan umum. Pada tahun lalu, masjid secara sadar tidak mengundang Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Mahfud MD, yang saat itu merupakan kontestan Pilpres 2024, sebagai pembicara. Keputusan ini diambil untuk menghindari kesan dukungan terhadap kandidat tertentu. "Tahun lalu, kami menghindari mengundang tokoh-tokoh yang sedang berkompetisi dalam Pilpres, karena kami ingin menjaga netralitas politik masjid," jelasnya. Namun, ketiga tokoh tersebut diundang pada kegiatan Ramadhan di Kampus (RDK) tahun ini, bukan karena ketokohan mereka, melainkan karena kapasitas dan relevansi materi yang akan mereka sampaikan dengan tema RDK.

Yusuf juga menjelaskan bahwa Masjid Kampus UGM, yang berada di lingkungan akademik, memiliki peran penting dalam membangun nalar kritis civitas akademika. Masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai ruang diskusi yang terbuka untuk membahas berbagai isu, termasuk kritik terhadap kebijakan negara di semua level, eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. "Kritik terhadap kebijakan negara merupakan bagian integral dari pembangunan nalar kritis, yang merupakan salah satu tujuan utama pendidikan tinggi," tegasnya. Hal ini, menurut Yusuf, selaras dengan tradisi intelektual yang telah lama terbangun di Masjid Kampus UGM.

Ramadhan di Kampus (RDK) UGM sendiri telah menjadi tradisi selama puluhan tahun, merupakan wadah diskusi intelektual yang membahas berbagai aspek sosial dan kebijakan. Pemilihan pembicara, ditekankan Yusuf, diprioritaskan berdasarkan kapasitas dan relevansi materi yang akan disampaikan, bukan berdasarkan ketokohan semata. "Ketokohan bukanlah prioritas utama; yang terpenting adalah kapasitas mereka dalam menyampaikan materi yang relevan dengan tema RDK," pungkas Yusuf. Dengan demikian, Masjid UGM berupaya menyeimbangkan fungsi keagamaan dengan peran sebagai pusat diskusi intelektual yang netral dan konstruktif.

Kesimpulan: Masjid Kampus UGM menegaskan komitmennya terhadap netralitas politik dalam konteks pemilu. Meskipun tidak melarang diskusi politik, masjid menekankan pentingnya membedakan antara politik praktis dan pendidikan politik. Masjid juga berperan aktif dalam membangun nalar kritis civitas akademika melalui diskusi terbuka dan program-program yang relevan.