Ironi Jembatan Penyeberangan Orang di Jakarta: Antara Fungsi dan Kondisi Memprihatinkan
Di tengah gemerlap pembangunan kota Jakarta, sebuah ironi mencolok hadir dalam wujud Jembatan Penyeberangan Orang (JPO). Infrastruktur yang seharusnya menjadi solusi aman bagi pejalan kaki, justru menyimpan berbagai permasalahan yang mengancam keselamatan. Alih-alih memberikan kemudahan, banyak JPO di ibu kota kini berada dalam kondisi memprihatinkan, bahkan membahayakan.
Laporan dari warga dan pengamatan langsung di lapangan mengungkapkan fakta yang mencemaskan. JPO-JPO yang seharusnya menjadi fasilitas publik yang vital, justru mengalami kerusakan yang beragam. Mulai dari hilangnya pegangan besi, pelat pijakan yang berlubang, struktur yang berkarat, hingga tangga yang licin akibat lumut. Kondisi ini tentu saja menimbulkan pertanyaan besar mengenai perhatian pemerintah terhadap infrastruktur publik yang sangat krusial ini.
Fungsi JPO yang Terlupakan
JPO memiliki peran yang jauh lebih penting daripada sekadar sarana penyeberangan. Di era modern, JPO merupakan bagian integral dari sistem mobilitas yang inklusif. Keberadaannya memungkinkan semua kalangan masyarakat, termasuk anak-anak, lansia, penyandang disabilitas, dan pengguna transportasi umum, untuk berpindah tempat dengan aman dan nyaman.
Selain itu, JPO juga berperan penting dalam mendukung moda transportasi non-motor seperti jalan kaki dan bersepeda, yang semakin digalakkan dalam konsep pembangunan kota berkelanjutan. Dengan demikian, kerusakan JPO bukan hanya mengancam keselamatan pejalan kaki, tetapi juga merusak visi pembangunan kota yang berorientasi pada manusia.
Potret Buram JPO di Jakarta
Kondisi JPO di Jakarta sangatlah beragam. Sementara di beberapa lokasi strategis seperti Jalan Sudirman dan MH. Thamrin, JPO tampak megah dan terawat, namun pemandangan kontras terlihat di berbagai wilayah lain.
Berikut beberapa contoh kondisi memprihatinkan JPO di Jakarta:
- JPO Gatot Subroto, Bendungan Hilir: Terletak di depan Gedung DPR/MPR RI, JPO ini justru memprihatinkan dengan pegangan besi yang hilang, tangga licin, dan sampah berserakan.
- JPO Kampung Bandan, Jakarta Utara: Jembatan sepanjang 250 meter ini kehilangan atap, berkarat, dan licin akibat pelat yang aus.
- JPO Pegangsaan Dua, Kelapa Gading: Delapan anak tangga kehilangan pelat besi akibat pencurian, yang berulang karena minimnya pengawasan.
- JPO Tanjung Duren dan Daan Mogot, Jakarta Barat: Warga melaporkan lubang besar di anak tangga akibat pelat yang hilang, bahkan ada yang nyaris terjatuh.
- JPO Jalan Raya Bekasi, Cakung: Pagar pengaman di tangga hilang, dan beberapa bagian atap sudah lepas.
- JPO Masjid Raya Pondok Indah: Lantai keropos dan bergoyang saat digunakan, beberapa titik berlubang, dan cat handrail mengelupas.
Kerusakan-kerusakan ini tidak hanya menyulitkan, tetapi juga membahayakan nyawa pejalan kaki dan bahkan pengendara yang melintas di bawahnya. Tak heran, banyak warga yang terpaksa memilih menyeberang di jalan raya yang padat, meskipun sangat berisiko.
Akar Permasalahan: Minim Pengawasan dan Pemeliharaan
Kondisi JPO yang memprihatinkan ini disebabkan oleh dua faktor utama: pemeliharaan yang buruk dan pengawasan yang lemah. Selain itu, maraknya pencurian komponen JPO, seperti besi dan lampu, semakin memperparah situasi.
Kasus pencurian lampu penerangan di JPO Semanggi menjadi bukti nyata lemahnya sistem keamanan infrastruktur publik di Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mendata 11 JPO rusak berat dan menjanjikan perbaikan, namun pertanyaan besar muncul: apakah langkah ini sudah cukup?
Langkah Pemerintah: Solusi Jangka Pendek?
Gubernur DKI Jakarta mengumumkan pemasangan CCTV di 11 JPO sebagai upaya mencegah pencurian, serta renovasi struktur dan pencahayaan yang rusak. Namun, banyak pihak meragukan efektivitas langkah ini dalam jangka panjang. Kerusakan JPO terjadi di lebih banyak titik, dan belum ada sistem pengawasan berkelanjutan, perawatan berkala, serta penganggaran yang memadai.
Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan pendekatan yang lebih struktural dan sistematis, bukan sekadar solusi instan. Jakarta tidak bisa hanya fokus pada proyek-proyek besar seperti MRT, LRT, atau revitalisasi trotoar di kawasan elit. Kota ini juga harus berkomitmen untuk menciptakan ruang berjalan kaki yang aman dan layak bagi semua warganya.
JPO bukan hanya sekadar jembatan besi, tetapi juga simbol perhatian kota terhadap kelompok paling rentan di jalan, yaitu pejalan kaki. Ketika infrastruktur dasar seperti ini diabaikan, maka narasi "kota global" pun kehilangan maknanya. Kota yang benar-benar maju adalah kota yang tidak hanya tinggi gedungnya, tetapi juga kuat kepeduliannya pada pijakan terkecil warganya.