Haji: Antara Kewajiban Mendesak dan Kelonggaran Waktu

Ibadah haji, sebagai rukun Islam kelima, adalah kewajiban fundamental bagi setiap Muslim yang mampu secara finansial dan fisik. Ayat 97 surat Ali Imran dengan jelas menyatakan perintah Allah SWT bagi umat Islam untuk menunaikan ibadah haji. Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah, apakah haji wajib ditunaikan segera setelah syarat terpenuhi, ataukah ada kelonggaran waktu yang diperbolehkan?

Para ulama sepakat bahwa haji adalah fardhu 'ain bagi yang memenuhi syarat, sebuah pilar agama yang pengingkarannya sama dengan mengingkari Islam itu sendiri. Akan tetapi, perbedaan pendapat muncul mengenai waktu pelaksanaan ibadah ini. Terdapat dua pandangan utama di kalangan ulama terkait hal ini.

Pandangan Pertama: Kewajiban Haji Harus Segera Ditunaikan

Sebagian ulama berpendapat bahwa haji wajib dilaksanakan sesegera mungkin setelah semua persyaratan terpenuhi. Pandangan ini dikenal dengan istilah al-wujubu 'ala al-fauri. Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali mendukung pandangan ini, dengan menekankan bahwa menunda haji tanpa alasan yang dibenarkan adalah sebuah dosa. Mereka menganggap haji yang dilaksanakan setelah penundaan sebagai haji qadha, meskipun dosa akibat penundaan tersebut telah gugur.

Ulama yang mendukung pendapat ini berpegang pada hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi yang artinya: “Barang siapa yang memiliki bekal dan kendaraan yang bisa membawanya melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, tetapi tidak melaksanakannya, maka jangan menyesal kalau mati dalam keadaan Yahudi atau Nasrani.” Hadits ini mereka tafsirkan sebagai peringatan keras bagi mereka yang menunda-nunda pelaksanaan haji padahal mampu.

Pandangan Kedua: Kewajiban Haji Boleh Ditunda

Pandangan lain, yang dikenal dengan al-wujubu 'ala at-tarakhi, menyatakan bahwa kewajiban haji boleh ditunda sampai waktu tertentu, meskipun semua syarat telah terpenuhi. Menurut pandangan ini, menyegerakan haji adalah tindakan yang lebih utama (sunnah), namun penundaan dengan niat yang tulus (azam) untuk melaksanakan di waktu mendatang tidak dianggap sebagai dosa. Akan tetapi, penundaan menjadi haram jika didasari keraguan atau kekhawatiran yang berlebihan, seperti takut kehilangan harta atau jatuh sakit.

Dalil yang digunakan oleh kelompok ini adalah fakta bahwa Rasulullah SAW dan ribuan sahabatnya menunda pelaksanaan haji meskipun mereka telah mampu. Ibadah haji diwajibkan pada tahun keenam Hijriah, namun Rasulullah SAW baru melaksanakannya pada tahun kesepuluh Hijriah. Penundaan ini menunjukkan bahwa haji tidak termasuk ibadah yang wajib dilaksanakan segera.

Mereka berargumen bahwa jika penundaan haji adalah dosa besar, maka Rasulullah SAW dan para sahabat adalah orang-orang yang paling berdosa. Padahal, mereka adalah teladan bagi umat Islam. Penundaan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW menjadi bukti bahwa haji bukan ibadah fauri (segera), melainkan tarakhi (boleh ditunda).

Pendapat ini juga dikuatkan oleh kitab Al-Umm dan Raudhatut-talib yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW menunda pelaksanaan haji tanpa dianggap berdosa. Dengan demikian, umat Islam memiliki panduan yang jelas dalam menyikapi kewajiban haji, yaitu antara menyegerakan pelaksanaan sebagai tindakan yang utama, atau menunda dengan niat yang kuat untuk melaksanakannya di kemudian hari.