Anomali Pariwisata Indonesia: Antara Ramainya Kunjungan dan Minimnya Dampak Ekonomi Lokal
Realitas Pariwisata Indonesia: Lebih dari Sekadar Angka Kunjungan
Masa libur Lebaran 2025 mencatatkan lonjakan kunjungan wisatawan di berbagai daerah, seolah menandakan pemulihan sektor pariwisata. Namun, laporan yang ada justru mengindikasikan adanya paradoks: tingkat hunian hotel yang rendah dan dampak ekonomi yang tidak sebanding dengan jumlah kunjungan.
Fenomena ini memunculkan istilah pseudotourism, sebuah kondisi di mana aktivitas pariwisata tampak ramai secara fisik, namun minim kontribusi terhadap ekonomi lokal. Istilah ini mengadaptasi gagasan Tourist Gaze dan Staged Authenticity, yang menekankan bahwa destinasi wisata seringkali dikonstruksi untuk memenuhi ekspektasi wisatawan tanpa menciptakan hubungan yang bermakna atau distribusi manfaat yang adil.
Data dan Fakta: Mengungkap Ketimpangan
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mencatat 123 juta pergerakan wisatawan nusantara selama libur Lebaran 2025. Namun, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) melaporkan tingkat okupansi hotel berbintang di destinasi unggulan seperti Yogyakarta, Bali, dan Labuan Bajo hanya berkisar antara 40% hingga 55%. Penginapan lokal dan homestay pun mengalami penurunan pendapatan karena wisatawan lebih memilih perjalanan singkat atau menginap di akomodasi informal.
Data serupa juga terlihat pada libur Lebaran 2023 dan 2024, di mana jumlah pergerakan wisatawan domestik masing-masing mencapai 85 juta dan 98 juta perjalanan. Namun, kontribusi sektor akomodasi terhadap PDB tetap stagnan di kisaran 2,5% hingga 2,7%. Survei Bank Indonesia juga menunjukkan keluhan pelaku UMKM terkait peningkatan pendapatan yang tidak berkelanjutan meski kunjungan wisatawan meningkat.
Akar Masalah: Mengapa Manfaat Ekonomi Tidak Merata?
- Kunjungan Singkat: Wisatawan cenderung memilih destinasi populer untuk kegiatan singkat, tanpa integrasi mendalam dengan ekonomi lokal.
- Ketergantungan pada Pariwisata Massal: Manfaat ekonomi terkonsentrasi di wilayah atau unit usaha yang lebih mapan.
- Kurangnya Integrasi Ekonomi Lokal: Aktivitas wisata belum terhubung secara optimal dengan struktur ekonomi lokal.
- Fokus pada Infrastruktur Fisik: Pengembangan destinasi kurang memperhatikan pengembangan produk lokal berbasis budaya dan alam.
Dampak Jangka Panjang: Kesenjangan dan Ketidakberlanjutan
Fenomena pseudotourism berpotensi memperlebar kesenjangan ekonomi dan sosial. Manfaat ekonomi cenderung tersentralisasi di lokasi yang telah mapan, sementara wilayah pinggiran tidak terintegrasi ke dalam jaringan pariwisata secara fungsional. Hal ini dapat memperkuat struktur ekonomi yang timpang dan menyebabkan masyarakat lokal menjadi penonton di tengah geliat pariwisata.
Selain itu, kurangnya interaksi antara wisatawan dan masyarakat lokal dapat menghambat pengembangan nilai-nilai budaya, sosial, dan edukatif dari aktivitas wisata. Pendekatan pariwisata yang berbasis komunitas dan pengalaman yang autentik menjadi semakin relevan untuk dikedepankan dalam strategi pembangunan pariwisata berkelanjutan.
Strategi Pengembangan Pariwisata yang Berkelanjutan dan Inklusif
Untuk mengatasi pseudotourism, diperlukan pergeseran paradigma dari sekadar promosi dan pembangunan fisik menuju pendekatan pariwisata berbasis komunitas (community-based tourism). Masyarakat lokal harus dilibatkan secara aktif dalam perencanaan, pengelolaan, dan distribusi manfaat ekonomi pariwisata.
Pemerintah perlu mendorong sinergi lintas sektor dan lintas wilayah agar pariwisata terintegrasi dalam strategi pembangunan wilayah yang holistik dan adil. Integrasi pariwisata dengan sektor lain seperti ekonomi kreatif, pertanian lokal, dan pelestarian lingkungan akan memperluas basis manfaat dan memperkuat fondasi ekonomi masyarakat sekitar destinasi.
Pengembangan pariwisata juga perlu mempertimbangkan aspek ketahanan (resilience) terhadap dinamika eksternal. Diversifikasi ekonomi menjadi kunci dalam strategi ini, dengan mengurangi ketergantungan pada pariwisata massal dan memperkuat sektor lain yang terhubung dengan ekosistem pariwisata.
Ketahanan pariwisata juga harus meliputi dimensi budaya dan lingkungan. Destinasi yang menjaga warisan budaya lokal dan keberagaman ekologis akan lebih tahan terhadap tekanan eksternal dan memiliki daya tarik jangka panjang. Pada akhirnya, pariwisata harus dipandang sebagai sarana pembangunan sosial yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga keberlanjutan lingkungan.