Kurir Paket di Tabalong Diduga Lakukan Tindak Asusila Terhadap Remaja Setelah Pengantaran COD

Kasus dugaan tindak asusila melibatkan seorang kurir paket dan remaja berusia 15 tahun menggemparkan Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Peristiwa ini bermula dari transaksi pengantaran paket Cash On Delivery (COD).

Menurut keterangan dari Polres Tabalong, melalui Kasi Humas IPTU Joko Sutrisno, insiden bermula ketika pelaku, seorang kurir, mengantarkan paket COD senilai Rp 35.000 kepada korban. Korban pada saat itu tidak dapat membayar, sehingga pelaku berinisiatif menalangi pembayaran tersebut dan meminta korban untuk melunasinya keesokan hari. Dari sinilah awal mula interaksi intensif antara keduanya dimulai.

Setelah menalangi pembayaran, pelaku meminta nomor telepon korban dengan dalih untuk mempermudah komunikasi terkait pelunasan. Korban pun memberikan nomornya. Keesokan harinya, pelaku mengirimkan pesan singkat mengajak korban untuk jalan-jalan sore. Korban, tanpa memberitahu orang tuanya, menyetujui ajakan tersebut.

Orang tua korban yang baru pulang dari sawah mendapati anaknya tidak berada di rumah. Mereka kemudian meminta kakak korban untuk mencari keberadaan adiknya. Saat dihubungi, korban berdalih masih berada di pasar dan beralasan sedang membeli jajanan. Namun, kebohongan itu terbongkar ketika kakak korban menemukan adiknya di jalan menuju rumah bersama dengan pelaku pada dini hari. Keduanya kemudian dibawa pulang ke rumah orang tua korban.

Dalam pemeriksaan, pelaku mengakui telah melakukan hubungan badan dengan korban sebanyak satu kali di sebuah hotel di Tabalong. Berdasarkan keterangan korban, sebelum kejadian tersebut, mereka sempat makan malam di sebuah angkringan dan berkaraoke. Setelah itu, pelaku mengajak korban ke sebuah kamar hotel dengan niat melakukan hubungan seksual, dan korban menyetujuinya.

Saat ini, pihak kepolisian telah mengamankan sejumlah barang bukti, termasuk kendaraan yang digunakan pelaku, pakaian yang dikenakan oleh pelaku dan korban, serta akta kelahiran korban. Pelaku terancam dijerat dengan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman penjara maksimal lima belas tahun.