Sorotan Tajam Pengamat terhadap Desakan Purnawirawan TNI Terkait Gibran: Upaya Destruktif di Tengah Kebutuhan Stabilitas Nasional

Pengamat politik Pieter C Zulkifli menyoroti tajam desakan sejumlah purnawirawan TNI yang menyerukan penggantian Gibran Rakabuming Raka dari jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Menurutnya, tindakan ini merupakan sebuah "drama politik" yang kontraproduktif, alih-alih memberikan solusi konstruktif bagi bangsa.

Pieter Zulkifli menyatakan bahwa alasan yang digunakan untuk menuntut penggantian Gibran, yaitu dugaan pelanggaran administratif, lebih kental nuansa politisnya daripada aspek yuridisnya. Ia menyayangkan sikap para purnawirawan yang seharusnya menjadi teladan, namun justru memperkeruh suasana dengan tuntutan yang dinilai tidak substansial.

"Di saat negara membutuhkan stabilitas dan visi yang jelas, justru tokoh-tokoh yang seharusnya menjadi panutan malah memicu kegaduhan," ujarnya, seraya menambahkan bahwa tuntutan tersebut terkesan dipaksakan.

Menurut mantan Ketua Komisi III DPR RI tersebut, keterlibatan para purnawirawan TNI dalam isu ini menimbulkan pertanyaan besar. Ia mempertanyakan motivasi di balik gerakan tersebut, apakah murni didorong oleh kegelisahan moral ataukah terdapat agenda politik tersembunyi.

"Ketika tokoh-tokoh yang pernah memegang posisi penting dalam pertahanan negara turut menyuarakan narasi penggantian wakil presiden yang dipilih melalui mekanisme konstitusional, publik akan bertanya-tanya, apakah ini sekadar kegelisahan moral, atau ada kepentingan politik tertentu yang sedang dimainkan?," ungkapnya.

Pieter menekankan pentingnya menjaga netralitas TNI dari kepentingan politik praktis. Ia khawatir, keterlibatan purnawirawan dalam isu ini dapat menimbulkan persepsi negatif di mata masyarakat dan mengancam kepercayaan publik terhadap institusi TNI.

"Publik bisa menilai ini bukan semata-mata persoalan hukum, tetapi juga manuver politik. Dan sayangnya, manuver seperti ini justru memperburuk iklim demokrasi yang sedang rapuh," imbuhnya.

Ia juga mengingatkan bahwa gugatan terhadap Gibran berpotensi merusak legitimasi pemilu secara keseluruhan. Meskipun kualitas moral atau etika suatu keputusan dapat diperdebatkan, namun dalam sistem hukum, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat.

"Kita harus dewasa dalam menerima hasil pemilu, meskipun hasilnya tidak sesuai dengan harapan kita. Jika setiap ketidakpuasan direspons dengan seruan pemecatan atau delegitimasi, maka kita sedang menciptakan kondisi yang merugikan sistem demokrasi itu sendiri," tegasnya.

Pieter menilai bahwa saat ini, bangsa lebih membutuhkan suasana tenang untuk memulai transisi pemerintahan yang efektif. Fokus utama seharusnya diarahkan pada upaya mengatasi tantangan ekonomi, kesenjangan sosial, dan dinamika geopolitik.

  • Kritik yang konstruktif tetap diperlukan, tetapi bukan kritik yang menyeret institusi ke dalam pusaran konflik, apalagi menggiring opini publik pada ilusi bahwa hasil demokrasi dapat dibatalkan hanya karena tidak sesuai dengan keinginan sebagian pihak.
  • Ia menyerukan semua pihak untuk mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
  • Saatnya bersatu dan bekerja sama untuk membangun Indonesia yang lebih baik.