Purnawirawan TNI, Kiki Syahnakri, Rilis Otobiografi: Sebuah Refleksi Bakti pada Negara
Mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, Letnan Jenderal TNI (Purn) Kiki Syahnakri, meluncurkan sebuah buku yang berjudul "Hingga Salvo Terakhir, Bakti Prajurit TNI". Peluncuran buku yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas ini berlangsung di Hotel Borobudur, Jakarta.
Judul buku ini terinspirasi dari pidato Jenderal TNI (Purn) Widjojo Soejono yang menekankan pengabdian seorang prajurit hingga akhir hayat. "Sebagai bhayangkari negara, maka tugas kita baru selesai kalau kita tidak lagi bisa mendengar salvo walaupun ditembakkan di samping telinga," ungkap Kiki mengutip pernyataan Widjojo Soejono.
Salvo, dalam konteks militer, merupakan tembakan kehormatan yang dilakukan dalam upacara pemakaman sebagai wujud penghormatan terakhir kepada seorang prajurit.
Buku setebal 352 halaman ini merupakan otobiografi yang ditulis sendiri oleh Kiki Syahnakri selama dua tahun. Proses penulisan yang cukup lama ini diakui karena kesibukannya menerima telepon dan kunjungan dari berbagai pihak.
Lebih dari sekadar catatan perjalanan hidup, buku ini memuat nilai-nilai kebangsaan, patriotisme, dan keindonesiaan. Kiki Syahnakri mengungkapkan kekhawatirannya akan terkikisnya nilai-nilai tersebut di kalangan generasi muda. Kekhawatiran ini muncul sebagai latar belakang penulisan buku tersebut.
Kiki Syahnakri menyadari bahwa masih banyak generasi muda yang memiliki rasa patriotisme tinggi. Namun, ia tidak menampik bahwa ada pula sebagian yang mulai melupakan nilai-nilai luhur bangsa. Ia menceritakan pengalamannya saat bertemu dengan pegawai bank yang tidak mengenali tokoh-tokoh pahlawan nasional.
Kiki mengisahkan pertemuannya dengan kepala cabang sebuah bank dan stafnya. Meskipun kedua pegawai tersebut memiliki wawasan luas dan kemampuan komunikasi yang baik, Kiki terkejut ketika mereka tidak mengenali foto Jenderal Ahmad Yani yang terpajang di ruangannya. Bahkan, mereka juga tidak mengenali Jenderal Sudirman, tokoh yang namanya diabadikan sebagai nama jalan protokol di Jakarta.
"Si pimpinan cabang ini lihat foto Pak Yani, dia tanya, 'Pak, ini foto tahun berapa, Pak?'" cerita Kiki menirukan percakapan tersebut. Kiki kemudian menjelaskan bahwa foto tersebut adalah foto pahlawan nasional Jenderal Ahmad Yani. Ia pun mencoba menguji wawasan kebangsaan mereka dengan menunjukkan foto Jenderal Sudirman. Namun, lagi-lagi, mereka tidak mengenali sosok pahlawan tersebut.
Pengalaman ini menjadi indikasi bagi Kiki Syahnakri bahwa nilai-nilai perjuangan bangsa perlu terus ditanamkan dan diwariskan kepada generasi muda.