Meneguhkan Moderasi Beragama di Tengah Pusaran Konflik Global

Dunia saat ini tengah menghadapi tantangan kompleks, mulai dari konflik keagamaan hingga polarisasi ideologi yang dipicu oleh ketegangan geopolitik. Konflik Israel-Palestina, misalnya, telah memicu sentimen keagamaan dalam politik global. Di sisi lain, perang dagang antara Amerika Serikat dan China, serta konflik berkepanjangan antara Rusia dan Ukraina, semakin memperuncing polarisasi ideologi di berbagai negara.

Indonesia pun tak luput dari permasalahan serupa. Isu nasab habaib, misalnya, telah memicu konflik internal bernuansa etno-religius. Persoalan yang semula berkisar pada perbedaan tesis ilmiah kini berkembang menjadi perseteruan emosional antara kelompok muhibbin habaib dan kelompok Perjuangan Walisongo Indonesia - Laskar Sabilillah (PWI LS).

Di tengah situasi global dan nasional yang penuh tantangan ini, harapan akan dunia yang harmonis tetap membara. Namun, peningkatan ujaran kebencian berbasis agama di media sosial, polarisasi internal dalam komunitas agama, sentimen agama dalam geopolitik, radikalisme digital, politisasi agama oleh elite, serta kurangnya pendidikan kritis lintas budaya, menuntut adanya penyeimbang dan moderasi.

Konsep moderasi beragama atau wasathiyyah, yang telah digagas oleh tokoh-tokoh nasional dan internasional, kini diuji kemampuannya untuk meredam ekstremisme dan radikalisme, membuka ruang dialog lintas iman dan budaya, serta berfungsi sebagai soft diplomacy untuk mewujudkan perdamaian dunia yang berkeadilan.

Moderasi sebagai Jalan Tengah

Moderasi beragama adalah jalan tengah yang adil, bukan sinkretisme atau kompromi prinsip dari berbagai agama dan kepercayaan. Esensi moderasi dapat ditemukan dalam berbagai ajaran agama, seperti ummatan wasathan dalam Islam, cinta kasih dalam Kristen, serta Jalan Tengah (Majjhima Patipada) dalam Hindu dan Buddha.

Keberagaman ideologi dan kepercayaan menjadikan moderasi beragama bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah keniscayaan. Pluralisme dan multikulturalisme adalah realitas yang tak terhindarkan.

Nabi Muhammad SAW menggambarkan pentingnya keberagaman dalam sebuah hadis: "Perumpamaanku dan perumpamaan para nabi-nabi terdahulu itu ialah ibarat seseorang membangun rumah lalu menyempurnakan dan memperindahnya. Kemudian orang-orang mengelilinginya dan mengaguminya, seraya berkata: 'Kita tidak pernah melihat bangunan yang lebih indah dari bangunan ini sebelumnya, hanya saja ada satu bata (yang belum diletakkan). Satu bata tersebut adalah aku.'" (H.R. Muslim).

Namun, keberagaman juga dapat memicu perpecahan antara kelompok mayoritas dan minoritas, seperti yang terjadi di beberapa negara di Asia. Untuk menjembatani perbedaan, diperlukan pendekatan spiritual, etis, dan dialogis. Hal inilah yang mendasari penandatanganan dokumen Human Fraternity for World Peace oleh Grand Sheikh Al-Azhar dan Paus Fransiskus pada tahun 2019.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama (Kemenag) RI juga telah menggulirkan program prioritas moderasi beragama yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Bahkan, Menteri Agama Profesor Nazaruddin Umar memperkenalkan kurikulum cinta yang diterapkan di semua tingkatan pendidikan di bawah naungan Kemenag RI.

Upaya ini bertujuan agar moderasi beragama tidak hanya berhenti pada penguatan konsep dan nilai, tetapi juga berdampak pada kerukunan umat beragama dan perdamaian dunia. Moderasi beragama menjadi kunci pembangunan karakter bangsa yang kokoh, sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai negara demokratis yang menjunjung tinggi pluralisme dan multikulturalisme.

Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, Indonesia bersama Yordania, Maroko, dan beberapa negara Arab lainnya, telah menjadi model negara Muslim moderat yang aktif dalam diplomasi perdamaian. Mengingat 80 dari 195 negara di dunia yang rentan konflik agama didominasi oleh penduduk Muslim (Freedom House, 2023) dan 57% populasi dunia tinggal di negara-negara yang tidak toleran (Pew Research, 2023), moderasi beragama memiliki peran strategis dalam menciptakan perdamaian dan stabilitas global.

Peran Strategis Moderasi Beragama

Konsep moderasi beragama yang terintegrasi dalam pendidikan kritis berbasis kurikulum cinta memiliki peran strategis dalam membendung arus radikalisme dan politisasi agama, serta membentengi diri dari konflik internal bernuansa etno-religius, termasuk isu nasab habaib versus PWI-LS.

Dalam ilmu sosial, pembingkaian (framing) dapat terjadi dalam komunikasi atau pikiran antarpribadi ketika melihat dan menyampaikan kenyataan secara subjektif. Oleh karena itu, moderasi beragama perlu dikemas sebagai pendidikan kritis yang mendorong pemahaman dan aplikasi nilai keadilan, empati, kasih sayang, dan saling menghormati dalam kehidupan beragama.

Implementasi pendidikan kritis moderasi beragama memerlukan tiga pilar utama:

  • Keterlibatan pemikiran kritis terhadap berbagai interpretasi keagamaan dan dialog lintas iman dan budaya.
  • Peran tokoh agama, pendidikan, dan media sebagai agen transformasi.
  • Sinergi antara negara dan masyarakat untuk mentransformasikan moderasi beragama dalam segala aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Dengan moderasi yang konsisten, kita dapat beradaptasi dengan kondisi dunia yang bergejolak dan menjadikannya sebagai alat diplomasi untuk mendorong kebijakan luar negeri yang berbasis keadilan, moralitas, dan perdamaian dunia.

Lanskap Moderasi

Lanskap atau peta jalan moderasi perlu disusun secara kolaboratif dengan melibatkan akademisi, praktisi, tokoh agama, lintas iman, dan lembaga pemerintah. Selama ini, aktor-aktor moderasi memiliki peta jalan yang berbeda-beda, seperti Islam Nusantara oleh Nahdlatul Ulama, Islam berkemajuan oleh Muhammadiyah, Islam Wasathiyyah oleh MUI, dan Moderasi Beragama oleh Kementerian Agama. Lembaga pendidikan di bawah koordinasi Kemenag RI juga menyusun lanskap tersendiri.

Semua aktor moderasi sepakat bahwa moderasi beragama harus berdampak pada kerukunan umat beragama. Oleh karena itu, delapan Asta Protas (Program Prioritas) di bawah kepemimpinan Menteri Agama Profesor Nazaruddin Umar menempatkan Moderasi Berdampak sebagai sasaran utama.

Untuk memperkuat praktik beragama yang moderat, Kemenag RI telah berkolaborasi menyusun lanskap moderasi dengan tokoh agama dan cendekiawan, meliputi:

  • Penyiapan regulasi untuk peningkatan kualitas kerukunan.
  • Penguatan moderasi beragama.
  • Pengembangan kurikulum berbasis cinta kemanusiaan dan penghargaan terhadap perbedaan.
  • Pemberdayaan KUA inklusif.
  • Pemeliharaan rumah ibadah untuk penguatan pembinaan umat beragama.

Selain itu, Kemenag RI menjadikan moderasi sebagai soft diplomacy melalui layanan bimbingan haji moderat dalam program Sukses Haji 2025. Dengan mentransformasikan moderasi manasik haji, jemaah haji Indonesia diharapkan dapat menjadi etalase Muslim moderat bagi jemaah dari seluruh dunia.

Lanskap moderasi tidak hanya fokus pada internalisasi toleransi dan kerukunan di dalam negeri, tetapi juga mendorong internasionalisasi praktik baik kerukunan umat beragama sebagai bentuk soft diplomacy. Diharapkan moderasi di tengah dunia yang bergejolak ini tidak hanya menjadi konsep, tetapi terwujud menjadi aksi nyata.