Krisis Pangan Mengintai Pengungsi Myanmar di Thailand Akibat Reduksi Bantuan
Kondisi memprihatinkan dialami puluhan ribu pengungsi Myanmar di Thailand. Pemangkasan bantuan kemanusiaan, peningkatan kebutuhan, dan inflasi yang tinggi telah menyebabkan lembaga amal kesulitan memberikan bantuan pangan yang memadai. Situasi ini menimbulkan ancaman kelaparan bagi para pengungsi yang bergantung pada bantuan internasional untuk bertahan hidup.
Lebih dari 80% dari 100.000 pengungsi yang tersebar di sembilan kamp di perbatasan Thailand-Myanmar akan terdampak oleh pengurangan ini. Sebagian besar dari mereka telah tinggal di kamp-kamp tersebut sejak tahun 1980-an. Mereka tidak memiliki akses untuk bekerja di luar kamp karena adanya pembatasan dari pemerintah Thailand, dan peluang penghasilan di dalam kamp pun sangat terbatas. Akibatnya, bantuan pangan menjadi tumpuan utama untuk mencegah kelaparan.
Pengurangan bantuan ini dipicu oleh keputusan Departemen Luar Negeri AS yang sebelumnya menjadi penyumbang utama anggaran tahunan The Border Consortium. Direktur Eksekutif The Border Consortium, Leon de Riedmatten, mengungkapkan bahwa dari permintaan dana sebesar $20 juta, mereka hanya menerima $15 juta yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hingga Juli 2025. Inflasi, fluktuasi nilai tukar, dan lonjakan jumlah pengungsi semakin memperburuk situasi.
Sejak kudeta militer di Myanmar pada tahun 2021, hampir 30.000 pengungsi baru telah tiba di sembilan kamp di perbatasan. Hal ini meningkatkan pengeluaran konsorsium, sementara dana yang tersedia tidak mencukupi untuk memberikan bantuan pangan dalam skala yang sama.
Para pengungsi yang terdaftar dalam program bantuan pangan menerima kartu digital yang diisi saldo setiap bulan. The Border Consortium mengklaim bahwa rumah tangga yang sangat bergantung pada kartu ini akan tetap menerima top-up pada level yang sama. Namun, pengurangan anggaran akan sangat terasa bagi 83% pengungsi yang berasal dari rumah tangga standar yang sebelumnya mampu memenuhi sebagian besar kebutuhan mereka sendiri melalui kebun kecil, pekerjaan sederhana di dalam kamp, atau sumbangan dari kerabat.
Seorang pengungsi di kamp Mae La mengungkapkan kekhawatiran bahwa pemangkasan ini akan memaksa mereka untuk mengurangi frekuensi dan porsi makan.
Survei terbaru menunjukkan bahwa malnutrisi di kalangan anak-anak di kamp-kamp pengungsi semakin meningkat. Malnutrisi akut meningkat menjadi 3,4% sejak 2019. Sementara itu, malnutrisi kronis melonjak menjadi 25,7% pada tahun lalu.
Direktur Program Thailand untuk The Border Consortium, Tim Moore, menyatakan bahwa kenaikan malnutrisi kronis terkait dengan meningkatnya jumlah pengungsi dari Myanmar. Meskipun bantuan pangan dikurangi, kamp-kamp masih memiliki langkah-langkah perlindungan untuk mendeteksi dan mengobati malnutrisi.
Konsorsium terus mencari solusi untuk mengatasi pemangkasan bantuan. Mereka berharap pemerintah Thailand memberikan izin kerja bagi pengungsi di luar kamp. Namun, usulan ini ditolak oleh Wakil Perdana Menteri Thailand dengan alasan akan membebani warga negara Thailand.
De Riedmatten berharap Kementerian Dalam Negeri Thailand dapat mempertimbangkan kembali proposal tersebut. Ia berharap solusi dapat ditemukan sebelum situasi menjadi tidak terkendali.
Berikut daftar masalah yang dihadapi para pengungsi:
- Pemangkasan bantuan pangan
- Inflasi
- Lonjakan jumlah pengungsi
- Larangan bekerja
- Meningkatnya malnutrisi