Moratorium Pemekaran Wilayah: Antara Otonomi Daerah dan Beban Fiskal Negara

Dilema Pemekaran Wilayah: Menimbang Manfaat dan Beban

Isu pemekaran wilayah kembali mencuat ke permukaan, dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menerima ratusan usulan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) hingga April 2025. Usulan tersebut mencakup pembentukan provinsi, kabupaten, kota, daerah istimewa, hingga daerah khusus. Namun, di tengah kondisi keuangan daerah yang belum sepenuhnya mandiri dan maraknya praktik korupsi, wacana pemekaran ini menuai kritik dan pertanyaan mendasar.

Pemekaran wilayah seringkali dipandang sebagai solusi untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat dan mempercepat pembangunan daerah. Namun, pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pemekaran tidak selalu membawa dampak positif yang diharapkan. Banyak daerah hasil pemekaran justru menjadi beban fiskal bagi pemerintah pusat, tanpa menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam kesejahteraan masyarakat. Tingginya biaya operasional pemerintahan, inefisiensi birokrasi, dan praktik korupsi menjadi masalah klasik yang menghantui daerah-daerah baru.

Problematika Otonomi Daerah dan Pemekaran Wilayah

Kondisi otonomi daerah saat ini masih jauh dari ideal. Banyak pemerintah daerah yang masih bergantung pada pemerintah pusat, baik secara fiskal maupun dalam pengambilan kebijakan. Kemampuan teknokratisme dan inovasi kepala daerah serta jajarannya juga menjadi tantangan tersendiri. Belum lagi, faktor politik dan kepentingan elite seringkali mewarnai proses pengambilan keputusan di daerah.

Dalam konteks ini, usulan pemekaran wilayah menjadi semakin problematis. Bagaimana mungkin daerah yang belum mandiri secara fiskal akan dimekarkan lagi? Bagaimana mungkin di tengah kondisi korupsi yang merajalela, pemekaran wilayah menjadi narasi yang diangkat kembali? Mengapa tidak mengoptimalkan daerah yang ada saat ini, yang masih membutuhkan asupan kemandirian dan vaksin teknokratisme?

Belajar dari Pengalaman: Otonomi Khusus Papua dan Aceh

Pengalaman Otonomi Khusus (Otsus) di Papua dan Aceh juga memberikan pelajaran berharga. Meskipun dana Otsus dialokasikan dalam jumlah yang besar, implementasinya masih menghadapi berbagai kendala. Dalam kasus Papua, misalnya, masih ada daerah yang belum memenuhi syarat wajib minimal belanja di bidang pendidikan sebesar 20 persen. Sementara itu, di Aceh, proyek pembangunan Rumah Sakit Regional Kota Langsa yang didanai anggaran Otsus mangkrak karena perubahan prioritas anggaran.

Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa masalah tata kelola dan kapasitas birokrasi menjadi faktor krusial dalam keberhasilan otonomi daerah. Pemekaran wilayah tanpa disertai dengan peningkatan kualitas tata kelola dan kapasitas sumber daya manusia hanya akan menciptakan masalah baru.

Dampak Fiskal dan Politik Pemekaran Wilayah

Secara fiskal, pemekaran wilayah akan meningkatkan beban anggaran pemerintah pusat. Dana Alokasi Umum (DAU) yang ditransfer ke daerah akan semakin besar. Namun, apakah anggaran tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat? Fenomena tren belanja daerah yang timpang menunjukkan bahwa anggaran untuk sektor produktif seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur seringkali terabaikan.

Selain itu, pemekaran wilayah juga memperbesar beban demokrasi elektoral. Setiap daerah baru akan membutuhkan Pilkada, Pileg, dan Pilgub. Biaya penyelenggaraan pemilu di daerah-daerah baru ini tidaklah kecil.

Kepentingan Elitis dan Politik

Tak bisa disangkal, banyak usulan pemekaran sarat akan kepentingan elitis dan politis. Kepala daerah, tokoh lokal, hingga politisi kerap menggunakan ‘isu pemekaran’ sebagai kendaraan elektoral. Daerah Otonomi Baru menjanjikan posisi politik strategis dan jabatan-jabatan baru yang menggiurkan.

Pada akhirnya, pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah: apakah pemekaran wilayah benar-benar akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat, atau hanya mengeskalasi kursi-kursi kekuasaan elite lokal? Pemerintah pusat harus memiliki grand design yang jelas dan komprehensif dalam menanggapi usulan pemekaran wilayah. Moratorium pemekaran wilayah yang tidak bermanfaat, seperti yang pernah dilakukan di era Susilo Bambang Yudhoyono, perlu dipertimbangkan kembali.

Rekomendasi

Sebelum menyetujui satu pun usulan DOB baru, pemerintah pusat harus memastikan bahwa pemekaran tersebut benar-benar didasarkan pada kajian yang mendalam dan komprehensif, serta mempertimbangkan dampak fiskal, sosial, dan politiknya. Pemerintah juga harus memastikan bahwa daerah-daerah hasil pemekaran memiliki tata kelola yang baik, birokrasi yang efisien, dan sumber daya manusia yang kompeten.

Desentralisasi seharusnya membebaskan daerah dari ketergantungan pusat, bukan justru menciptakan kantong-kantong birokrasi yang ‘selalu mengharapkan’ anggaran. Sebelum wilayah-wilayah kita terus ‘mekar’, pastikan dulu benar-benar sudah ‘kekar’.

  • Evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas pemekaran wilayah yang telah dilakukan.
  • Peningkatan kapasitas tata kelola dan sumber daya manusia di daerah.
  • Penguatan pengawasan terhadap penggunaan anggaran daerah.
  • Moratorium pemekaran wilayah yang tidak memenuhi syarat.
  • Fokus pada optimalisasi daerah yang ada.