Lima Tahun Menanti: Warga Lebakgedong Terjebak dalam Huntara Akibat Banjir Bandang
Lima tahun berlalu sejak banjir bandang melanda Lebakgedong, Kabupaten Lebak, Banten, pada 1 Januari 2020. Lebih dari seratus keluarga, tepatnya 121 keluarga, masih berjuang untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak. Mereka kini hidup dalam kondisi memprihatinkan di hunian sementara (huntara) yang terbuat dari terpal, berlokasi di Kampung Cigobang, Desa Banjarsari. Deretan huntara sederhana itu berdiri di atas lahan kosong, menjadi saksi bisu penantian panjang para korban bencana.
Dirman, salah seorang penyintas, dengan getir menceritakan bagaimana banjir bandang dan longsor menyapu bersih rumah dan harta bendanya. Setelah kehilangan segalanya, ia bersama istri dan ketiga anaknya terpaksa mengungsi selama tujuh bulan di penampungan yang disediakan oleh pemerintah daerah. Setelah itu, bersama warga lain yang senasib, mereka berinisiatif mendirikan huntara sebagai tempat berlindung sementara. Huntara ini bukanlah bantuan dari pemerintah, melainkan hasil swadaya masyarakat dan uluran tangan para donatur.
Ironisnya, setelah lima tahun berlalu, harapan untuk memiliki rumah tetap masih menjadi mimpi yang belum terwujud. Kondisi ini kontras dengan nasib korban bencana serupa di Desa Cileuksa, Kabupaten Bogor, yang telah menempati hunian tetap setelah empat tahun. Warga Lebakgedong merasa kecewa dan kehilangan kepercayaan terhadap janji-janji yang pernah diucapkan oleh para pejabat daerah.
"Sudah didata dan dijanjikan, yang datang banyak, seperti bupati, kepala dinas, dan anggota DPRD, tapi cuma janji-janji doang," ujar Dirman dengan nada putus asa, mencerminkan kekecewaan mendalam yang dirasakan oleh para korban banjir.
Rasa frustrasi juga diungkapkan oleh Taufik, warga lainnya. Ia mengaku sudah bosan mendengar janji-janji pembangunan rumah yang tak kunjung terealisasi. Bahkan, ia merasa muak ketika difoto oleh wartawan atau pihak lain yang datang, karena hal itu seolah hanya menjadi tontonan tanpa ada tindakan nyata.
Pihak kecamatan, melalui Camat Rapei, mengklaim telah mengajukan lahan seluas lima hektar untuk pembangunan hunian tetap dan pembebasan lahan telah dilakukan. Kini, mereka hanya menunggu realisasi pembangunan dari pemerintah pusat. Lokasi yang dipilih tidak jauh dari huntara saat ini, dengan tujuan agar para korban tetap dapat bertani dan berkebun, yang menjadi mata pencaharian utama mereka.
Namun, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebak mengakui adanya kendala dalam proses pembangunan hunian tetap. Asisten Daerah II Pemkab Lebak, Ajis Suhendi, menjelaskan bahwa salah satu kesulitan utama adalah mencari lahan yang cukup luas di sekitar Cigobang. Hal ini disebabkan karena sebagian besar lahan di wilayah tersebut berstatus taman nasional. Meskipun demikian, pemerintah telah berupaya mengeluarkan 5,4 hektar dari total 45 hektar lahan dari kawasan hutan melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Saat ini, lahan tersebut telah siap untuk dibangun perumahan oleh Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman. "Kami terus mendorong upaya pembangunan dan berkomitmen untuk merealisasikan ini. Mohon doa serta dukungan agar ikhtiar Pemda Lebak segera membuahkan hasil," kata Ajis, berharap agar pembangunan segera terealisasi.
Di tengah ketidakpastian dan penantian panjang, para korban banjir bandang di Lebakgedong terus berharap agar mimpi mereka untuk memiliki rumah yang layak dapat segera terwujud. Mereka berharap agar pemerintah pusat dan daerah dapat bersinergi untuk merealisasikan janji-janji yang telah diucapkan, sehingga mereka dapat kembali menata kehidupan yang lebih baik setelah dilanda musibah.