Fenomena Pengunduran Diri CPNS: Lebih dari Sekadar Kurang Bersyukur

Fenomena pengunduran diri Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang telah dinyatakan lulus terus menjadi sorotan publik. Beragam komentar muncul di media sosial, mulai dari tudingan tidak bersyukur hingga kurangnya komitmen terhadap pengabdian sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun, benarkah alasan di balik pengunduran diri ini sesederhana itu?

Peraturan Menteri PAN-RB Nomor 6 Tahun 2024 tentang Pengadaan ASN mengatur bahwa instansi memiliki dua sistem dalam penentuan lokasi formasi. Pertama, sistem pengelompokan formasi, di mana pelamar hanya bisa memilih jabatan tanpa bisa memilih lokasi penempatan. Contohnya, instansi seperti Bawaslu yang membuka formasi analis hukum di seluruh provinsi, namun pelamar tidak bisa memilih lokasi spesifik. Kedua, sistem tanpa pengelompokan (mirip zonasi), di mana pelamar bisa memilih jabatan dan unit kerja secara spesifik, misalnya analis hukum di Provinsi Jawa Timur. Dari sini, terlihat bahwa ada pelamar yang siap ditempatkan di mana saja, dan ada yang memang ingin bekerja di daerah domisili. Ini adalah hak individu.

Faktanya, seperti yang disampaikan Kepala BKN, mayoritas CPNS yang mengundurkan diri adalah mereka yang lulus melalui kebijakan optimalisasi. Mekanisme optimalisasi ini menempatkan peserta yang sebelumnya tidak lulus (dengan nilai tertinggi setelah pemeringkatan) ke unit kerja lain yang formasi kosong, asalkan jabatan yang dilamar sama. Ironisnya, formasi kosong ini mayoritas berada di daerah-daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Ini mencerminkan kesenjangan ekonomi dan pembangunan antar daerah.

Artinya, banyak peserta yang mundur bukan karena tidak bersyukur atau tidak berkomitmen, melainkan karena sejak awal tidak ingin bekerja jauh dari domisili. Hal ini berbeda dengan kasus pengunduran diri peserta yang bukan hasil optimalisasi atau yang sejak awal tahu bahwa instansi yang dilamar tidak merinci unit kerja penempatan.

Bekerja jauh dari rumah membutuhkan persiapan mental dan finansial yang matang. Kondisi demografis yang beragam, seperti kesehatan orang tua, biaya hidup di perantauan, dan ongkos transportasi pulang-pergi, seringkali tidak seimbang dengan penghasilan yang didapatkan. Narasi pengabdian sebagai ASN juga seringkali menutupi masalah sistemik yang lebih mendalam.

Dunia kerja telah berubah. Generasi muda yang mendominasi lapangan kerja saat ini memiliki ekspektasi yang berbeda. Mereka tidak hanya mencari penghasilan, tetapi juga keseimbangan hidup, kesehatan mental, dan kesempatan untuk aktualisasi diri. Instansi pemerintah harus mempertimbangkan aspek-aspek ini agar relevan dengan tantangan zaman.

Kekosongan formasi akibat pengunduran diri CPNS menimbulkan kerugian finansial dan kinerja lembaga. Proses seleksi yang panjang dan mahal menjadi sia-sia jika formasi tidak terisi. Pemerintah telah mengambil beberapa kebijakan, baik preventif maupun kuratif, seperti:

  • Penetapan formasi khusus untuk putra/putri Papua dan daerah tertinggal.
  • Penyesuaian nilai ambang batas (passing grade) SKD untuk formasi khusus.
  • Sistem optimalisasi yang berhasil mengisi 88% formasi kosong.
  • Sanksi bagi peserta yang mundur, yaitu larangan melamar ASN selama 2 tahun.

Namun, fenomena pengunduran diri CPNS tidak bisa dilihat hanya dari sudut pandang administratif. Ini menyangkut nasib pencari kerja dan pemerataan birokrasi di seluruh Indonesia. Evaluasi dan penguatan kebijakan yang ada harus terus dilakukan.

Kuota formasi khusus perlu ditingkatkan, terutama di daerah tertinggal. Nilai ambang batas SKD untuk formasi khusus juga perlu dievaluasi dengan mempertimbangkan kondisi kesenjangan pendidikan dan ekonomi. Sanksi blacklist mungkin belum menyelesaikan akar masalah.

Wacana pemberian insentif tambahan bagi ASN yang ditempatkan di daerah tertinggal, seperti cuti tambahan, tunjangan khusus, dan percepatan karier, perlu diwujudkan. Kebijakan ini akan menyentuh akar permasalahan kesenjangan ASN di daerah-daerah tertinggal, karena setiap perantau ingin pulang dengan membawa sesuatu.