Gaza di Ambang Krisis Kemanusiaan: Blokade Israel Perparah Kelangkaan Pangan dan Gizi Buruk
Jalur Gaza menghadapi situasi kemanusiaan yang mengerikan akibat blokade yang diberlakukan Israel. Persediaan makanan menipis dengan cepat, memicu peringatan dari berbagai organisasi internasional tentang meningkatnya kelaparan dan kekurangan gizi, terutama di kalangan anak-anak.
Program Pangan Dunia (WFP) melaporkan bahwa stok makanan yang tersisa di Gaza telah habis. Hal ini terjadi karena terhambatnya pasokan bantuan kemanusiaan akibat penutupan perbatasan oleh pihak Israel. Dapur umum yang bergantung pada pasokan WFP terancam berhenti beroperasi dalam beberapa hari mendatang, memperburuk kondisi bagi warga sipil yang sudah sangat menderita.
Kondisi diperparah dengan penutupan 25 toko roti yang didukung WFP sejak akhir Maret lalu, akibat kekurangan tepung terigu dan bahan bakar untuk memasak. Paket makanan yang didistribusikan kepada keluarga, yang seharusnya mencukupi untuk dua minggu, juga telah habis.
Dampak Gizi Buruk Meningkat Drastis
Malnutrisi menjadi isu yang sangat mengkhawatirkan. Pemeriksaan yang dilakukan oleh mitra kemanusiaan WFP menunjukkan peningkatan tajam kasus malnutrisi akut di Gaza utara. Lebih dari 80 kasus ditemukan dari 1.300 anak yang diperiksa, dua kali lipat dari angka pada minggu-minggu sebelumnya. Badan PBB UNICEF memperkirakan lebih dari 60.000 anak di Gaza akan membutuhkan perawatan akibat kekurangan gizi akut pada tahun 2025. Bahkan, sejumlah anak telah meninggal dunia akibat kondisi ini.
WFP menyatakan bahwa 116 ribu ton makanan siap dikirim ke Gaza jika perbatasan dibuka. Jumlah ini cukup untuk memberi makan satu juta orang selama empat bulan. Namun, hingga saat ini, bantuan tersebut masih tertahan.
Latar Belakang Konflik dan Tuntutan Gencatan Senjata
Israel menghentikan pasokan makanan, bahan bakar, obat-obatan, dan kebutuhan lainnya ke Gaza sejak tanggal 2 Maret. Tindakan ini diikuti dengan pemboman dan serangan darat setelah jeda gencatan senjata selama dua bulan dengan Hamas. Israel mengklaim tindakan tersebut bertujuan untuk menekan Hamas agar membebaskan sandera yang ditahan sejak serangan tahun 2023. Namun, kelompok hak asasi manusia mengkritik blokade tersebut sebagai potensi kejahatan perang.
Hamas, yang menguasai Gaza, menyatakan kesiapannya untuk mencapai kesepakatan yang mengakhiri perang dan bersedia membebaskan semua sandera sebagai imbalan gencatan senjata selama lima tahun. Delegasi Hamas telah melakukan pembicaraan di Kairo, Mesir, dengan mediator untuk mencari solusi atas konflik yang telah berlangsung selama 18 bulan dan menewaskan lebih dari 51.000 orang.
Tuntutan utama Hamas dalam perundingan gencatan senjata meliputi:
- Berakhirnya perang secara permanen
- Penarikan penuh pasukan Israel dari Jalur Gaza
- Peningkatan signifikan bantuan kemanusiaan
Israel, di sisi lain, menuntut pembebasan semua sandera dan pelucutan senjata Hamas. Negosiasi terus berlanjut, tetapi belum ada titik temu yang dicapai. Sementara itu, kondisi kemanusiaan di Gaza terus memburuk, dan harapan untuk solusi damai semakin menipis.