Nirasha Darusman: Kisah Pilu Berujung Pendirian Komunitas Dukungan Kedukaan 'Grief Talk' di Indonesia

Kehilangan orang-orang terkasih adalah pengalaman pahit yang tak terhindarkan dalam hidup. Bagi sebagian orang, proses pemulihan dari kedukaan bisa menjadi perjalanan panjang dan berat. Nirasha Darusman, seorang perempuan Indonesia, memahami betul betapa pentingnya dukungan dalam menghadapi masa-masa sulit tersebut. Pengalaman pribadinya yang mendalam menginspirasinya untuk mendirikan sebuah komunitas dukungan kedukaan pertama di Indonesia, yang diberi nama 'Grief Talk'.

Luka Masa Lalu dan Titik Balik

Nirasha harus menghadapi kenyataan pahit kehilangan empat anggota keluarganya secara beruntun dalam kurun waktu tujuh tahun. Trauma mendalam ini, ditambah dengan stigma masyarakat terhadap kesehatan mental pada saat itu, membuatnya kesulitan memproses kedukaannya dengan baik. Akibatnya, kesehatan mentalnya pun terganggu. Ia didiagnosis mengalami depresi ringan, gangguan kecemasan, PTSD (post-traumatic stress disorder), dan Prolonged Grief Disorder.

Namun, titik balik terjadi ketika ia menjalani terapi dengan seorang psikolog. Ia menyadari bahwa ada banyak luka dalam dirinya yang belum terproses dengan baik. Ia pun mulai memahami bahwa duka adalah proses panjang yang tidak bisa diabaikan dan tidak akan hilang begitu saja. Dari sinilah muncul kesadaran akan pentingnya dukungan dari sesama penyintas duka.

Lahirnya 'Grief Talk'

Nirasha mencoba mencari kelompok dukungan khusus untuk orang-orang yang berduka di Indonesia, namun usahanya tidak membuahkan hasil. Sejak saat itu, ia bertekad untuk suatu hari mendirikan ruang aman bagi mereka yang mengalami hal serupa. Beberapa tahun kemudian, pandemi COVID-19 melanda dan meninggalkan duka pada banyak orang. Situasi ini mendorongnya untuk mewujudkan niatnya lebih cepat. Pada tahun 2020, 'Grief Talk' resmi berdiri.

Dalam perjalanannya selama lima tahun, 'Grief Talk' telah mengadakan ratusan pertemuan, baik secara daring maupun luring. Tajuk "Let's Talk Grief" dipilih untuk mencerminkan ruang berbagi yang hangat dan inklusif. Selain itu, 'Grief Talk' juga rutin menghadirkan psikolog dan psikiater dalam sesi bincang-bincang bertajuk "Let's Ask Grief." Pada tahun 2024, inisiatif ini berkembang menjadi festival kedukaan pertama di Indonesia: Grief Fest.

Validasi Perasaan dan Penerimaan Diri

Dalam mengelola 'Grief Talk', Nirasha selalu mengedepankan pentingnya validasi atas perasaan yang muncul. Ia percaya bahwa duka tidak perlu dipaksa pergi, cukup dirasakan, diakui, dan perlahan-lahan dinavigasi. "Sebenarnya yang kami butuhkan buat orang yang berduka tuh cuma divalidasi aja kok perasaannya. Jadi kita nggak bisa langsung, (orang) meninggal terus kita tiba-tiba langsung oke, ikhlas gitu. Ketika kita memvalidasi perasaan, justru proses menuju hasil yang kita inginkan tadi itu lebih cepat daripada kita langsung lompat ke sana," terangnya.

Pemaparan Nirasha senada dengan kesan Trie Damayanti, salah satu peserta 'Grief Talk' yang kehilangan anak semata wayangnya pada dua tahun silam. Trie mengaku, meski jalan untuk berdamai dengan duka masih panjang, berduka tanpa penghakiman membuatnya bisa menghadapi dukanya dengan lebih baik. "Setiap 9 November, pasti teringat. Kalau dulu, ya udah, sejadi-jadinya. Lagi ngobrol sama orang, nangis. Kalau sekarang aku kasih waktu (untuk) sedih. Jadi tanggal 9, satu jam nangis deh. Jadi nanti jangan di depan orang, lagi ketemu orang tiba-tiba nangis. Jadi aku coba mengendalikan keadaan. Bukannya nggak berat, berat masih gitu. Tapi kayak sekarang lebih bisa, lebih bisa mengendalikan lah," jelas Trie.

Kesan peserta-peserta seperti Trie, membuat Nira ingin terus mengelola 'Grief Talk' dengan lebih baik. Tak hanya bersyukur membantu para peserta, Nira sendiri merasa terbantu menjalani kedukaannya karena keberadaan support group yang ia dirikan. Bagi Nira, menjalankan Grief Talk adalah panggilan hidup.

Duka dan Cinta: Dua Sisi Mata Uang

"Visinya ke depannya adalah kedukaan itu dilihat normal biasa aja gitu. Bukan sesuatu yang harus dihindari atau tabu untuk dibicarakan. Buat aku sih, duka itu sama dengan cinta. Terus harus diapain? Ya nggak diapa-apain. Kalau cinta gimana? Ya, we keep loving. Makanya duka akhirnya selamanya. Karena kan, kalau menurut aku duka adalah cinta, terus apakah kita bisa menghilangkan rasa cinta itu? Nggak bisa kan? Ya udah, cuma bisa kita peluk," ujar Nira.

"Jadi menurut aku, duka dan cinta itu patut kita perlakukan sama. Karena sebenarnya kita tidak mungkin akan berduka sedalam itu kalau kita juga nggak punya cinta sedalam itu," lanjutnya. Kisah Nirasha Darusman dan 'Grief Talk' adalah bukti nyata bahwa dukungan dan validasi dapat membantu seseorang melewati masa-masa sulit dan menemukan makna dalam kedukaan.