Status Keistimewaan Solo Raya Dipandang Kurang Efisien di Tengah Isu Anggaran Negara
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Armand Suparman, menyampaikan pandangannya terkait usulan menjadikan Solo Raya sebagai daerah istimewa. Menurutnya, pemberian status tersebut kurang sejalan dengan prinsip efisiensi yang sedang digencarkan pemerintah pusat.
Armand menjelaskan bahwa penetapan suatu daerah sebagai daerah istimewa akan berdampak pada peningkatan pengeluaran negara. Dalam kondisi keuangan negara yang sedang tidak stabil, langkah ini dianggap kurang tepat. Ia menekankan bahwa pemberian kekhususan atau keistimewaan kepada suatu daerah akan membawa konsekuensi finansial yang signifikan bagi negara.
Salah satu contoh yang diberikan adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebagai daerah dengan status istimewa, Yogyakarta menerima kucuran dana keistimewaan di luar dana transfer daerah atau dana perimbangan yang reguler diterima oleh pemerintah daerah lainnya. Armand menilai, dari sisi dimensi anggaran saja, usulan status keistimewaan untuk Solo Raya belum relevan.
Lebih lanjut, Armand juga menyoroti alasan pelestarian budaya sebagai dasar pengajuan status keistimewaan. Menurutnya, pemerintah pusat telah memiliki Kementerian Kebudayaan yang bertugas untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan di seluruh Indonesia. Selain itu, setiap daerah juga memiliki dinas terkait yang memiliki tanggung jawab serupa.
Armand menekankan pentingnya memperkuat peran Kementerian Kebudayaan dalam memperhatikan keistimewaan dan keunikan budaya serta sejarah di berbagai daerah. Dengan demikian, alasan pemberian status keistimewaan demi menjaga keunikan dan kelestarian budaya menjadi kurang relevan.
Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah menerima usulan dari sejumlah daerah yang menginginkan status istimewa. Selain Solo Raya yang mencakup Kota Surakarta dan enam kabupaten di sekitarnya (Boyolali, Karanganyar, Sragen, Sukoharjo, dan Wonogiri), terdapat juga usulan dari enam provinsi lainnya, yaitu Jawa Barat, Sumatera Barat, Riau, dan dua usulan dari Sulawesi Tenggara.
Perluasan daerah dengan status istimewa ini tentu memerlukan pertimbangan matang, terutama terkait dengan kemampuan keuangan negara dan efektivitas pelaksanaan otonomi daerah. Pemberian status istimewa seharusnya didasarkan pada kebutuhan yang mendesak dan bukan semata-mata untuk meningkatkan anggaran daerah.