Mengurai Krisis Perumahan Jakarta Era 1950-an: Lahirnya Grogol, Pejompongan, dan Tebet

Jakarta, pada dekade awal 1950-an, bergulat dengan persoalan genting: krisis perumahan yang dipicu oleh pertumbuhan populasi yang eksponensial. Gelombang urbanisasi pasca-kemerdekaan memperparah keadaan, menuntut solusi cepat dan tepat dari pemerintah kota. Dari situlah, gagasan untuk membangun kawasan hunian baru mengkristal, dan lahirlah Grogol, Pejompongan, serta Tebet sebagai bukti nyata.

Pemerintah kota pada masa itu, merespon krisis ini dengan meluncurkan proyek perumahan rakyat dan perbaikan kampung mulai tahun 1950 hingga 1953. Meskipun pembangunan awal difokuskan di Pelaju, Kebayoran Baru, lonjakan penduduk memaksa pemerintah untuk memperluas jangkauan proyek ke wilayah lain.

Grogol: Kawasan Segitiga untuk Pekerja

Grogol, dengan luas sekitar 25 hektar, dirancang sebagai kawasan perumahan untuk para pekerja. Berbentuk segitiga yang dibatasi oleh Banjir Kanal Barat, Kali Grogol, dan Jalan Tangerang Barat, kawasan ini menjadi rumah bagi 103 unit hunian dalam waktu satu tahun. Skema cicilan ringan selama 20 tahun menjadi daya tarik utama, memungkinkan para buruh memiliki rumah dengan harga terjangkau. Selain itu, pemerintah juga menyediakan perumahan darurat murah bagi kelompok rentan seperti tukang becak, penjaja makanan, dan pekerja kecil lainnya di berbagai lokasi strategis.

Pejompongan: Hunian Terencana dan Instalasi Air Bersih

Pejompongan hadir dengan konsep yang lebih komprehensif. Selain pembangunan rumah, pemerintah juga mendirikan Instalasi Pengolahan Air Minum (IPA) pertama di Indonesia pada tahun 1957. Kawasan ini kemudian dikembangkan sebagai permukiman bagi pegawai negeri dan pejabat lembaga negara. Pejompongan dibagi menjadi tujuh blok (Blok A hingga G), dengan nama jalan yang terinspirasi dari nama-nama danau di Indonesia. Fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, dan tempat ibadah juga menjadi bagian integral dari perencanaan kawasan ini, mencerminkan visi modernitas dan keteraturan.

Tebet: Kota Taman untuk Warga Relokasi

Menjelang Asian Games 1962, Jakarta menghadapi tantangan baru: pemindahan penduduk dari kawasan padat untuk membuka jalan bagi pembangunan infrastruktur. Gubernur Soemarno (1960–1966) kemudian merancang Tebet sebagai solusi. Konsep kota taman diimplementasikan dengan jalur hijau yang membelah kawasan, berfungsi sebagai paru-paru kota dan area resapan air. Warga yang terkena relokasi dari proyek Asian Games dan proyek Gedung Pola Pegangsaan Timur dipindahkan ke Tebet, Slipi, Tanjung Priok, Pejompongan, dan Cempaka Putih.

Perumahan di Tebet dibangun dengan memperhatikan hirarki ukuran kavling dan jalan, mengadopsi gaya arsitektur modern tahun 1960-an yang menekankan keberadaan beranda lebar untuk menciptakan suasana tropis yang nyaman. Grogol, Pejompongan, dan Tebet lebih dari sekadar nama-nama wilayah di Jakarta. Ketiganya adalah simbol dari upaya keras pemerintah dan masyarakat dalam mengatasi ledakan populasi dan perubahan zaman. Melalui pembangunan kawasan-kawasan ini, Jakarta belajar menata ruang hidup warganya, sebuah pelajaran berharga yang relevan hingga saat ini.