Menghidupkan Kembali Mimpi Bebas Malaria di Desa: Sebuah Refleksi dari Kampung Halaman

Mimpi Bebas Malaria: Lebih dari Sekadar Tagihan Listrik

Seringkali, kita lebih khawatir dengan tagihan listrik yang membengkak daripada gigitan nyamuk yang tak terlihat. Padahal, konsekuensi dari gigitan nyamuk, terutama di daerah endemis malaria, bisa jauh lebih fatal daripada sekadar dompet yang menipis.

Beberapa waktu lalu, saya kembali ke kampung halaman, sebuah desa kecil yang terletak di Jawa Barat. Di sana, udara pagi masih segar, meskipun sinyal ponsel seringkali hilang timbul. Rumah ibu saya masih sama seperti dulu, dengan tembok separuh bata yang menyimpan banyak kenangan. Di halaman belakang, bak penampungan air masih berdiri kokoh, menjadi tempat favorit bagi nyamuk-nyamuk lokal untuk berkembang biak.

Malam pertama di kampung halaman, saya lupa menggunakan losion anti nyamuk. Akibatnya, kaki saya dipenuhi bentol-bentol merah, seperti papan Braille. Nyamuk-nyamuk di kampung ini sepertinya masih menjalankan tradisi lama, yaitu menyambut tamu dengan gigitan.

"Lho, belum tahu ya, Mas? Di sini masih daerah endemis malaria," kata Pak RT sambil menikmati kopi paginya. Ia menyebutkan beberapa nama warga yang sempat dirawat di rumah sakit karena penyakit ini. Saya terkejut, merasa bodoh karena mengira malaria sudah punah seperti dinosaurus. Ternyata, malaria hanya bersembunyi dan menunggu kesempatan.

Realitas Malaria: SOP Nyamuk yang Semakin Canggih

Saya kemudian menghubungi Dini, seorang teman yang bekerja sebagai sanitarian senior di Puskesmas setempat. Dini hafal betul wajah setiap warga, dari bayi hingga lansia.

"Kasus malaria masih banyak terjadi, terutama saat musim hujan," jelas Dini. "Tapi sekarang berbeda, Mas. Nyamuknya semakin pintar. Mereka tahu kapan harus aktif dan di mana harus bertelur. Sepertinya mereka punya SOP sendiri."

Saya tertawa mendengar penuturan Dini, namun ada rasa getir yang menyelinap. Kita seringkali baru bertindak setelah terkena dampaknya langsung. Dalam kasus malaria, kita baru sadar setelah berkali-kali digigit.

Dini menjelaskan bahwa kampanye anti-malaria saat ini tidak hanya fokus pada pembagian kelambu atau pengasapan (fogging). Pendekatan yang lebih komprehensif diperlukan, yang menyentuh kebiasaan hidup, pola pikir, dan cara pandang kita terhadap kesehatan lingkungan.

"Tema tahun ini sangat bagus," kata Dini. "Investasikan kembali, bayangkan kembali, nyalakan kembali. Tapi jangan sampai hanya menjadi slogan di spanduk."

Kebijakan Tanpa Akar: Warga Sebagai Pelengkap

Saya teringat masa kecil, ketika pemerintah rutin membagikan kelambu gratis. Anak-anak senang karena merasa memiliki tenda kecil di kamar mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, kelambu tersebut berubah fungsi menjadi sarung ayam atau pembungkus buah mangga. Investasi yang sia-sia.

Saat ini, banyak program kesehatan yang datang ke desa dengan jargon-jargon keren seperti pelibatan komunitas, pendekatan partisipatif, dan pemberdayaan. Namun, saya sering bertanya-tanya, mengapa warga seringkali hanya menjadi pelengkap dalam setiap kebijakan?

Saya pernah mengikuti rapat warga saat ada penyuluhan tentang malaria. Narasumber dari kabupaten berbicara dengan bahasa yang sulit dipahami. Warga kebingungan, bahkan ada yang tertidur atau sibuk bermain game di ponsel. Setelah acara selesai, semua orang bubar tanpa pemahaman yang jelas. Brosur-brosur berserakan di lantai, seperti daun gugur yang gagal diposting di Instagram.

Masalahnya bukan pada niat baik, tetapi pada cara penyampaian. Kita terlalu fokus pada strategi-strategi besar, namun lupa untuk menanamkan kepercayaan dan melibatkan warga secara aktif.

Membangun Mimpi Bersama: Kampung Bebas Malaria

Mari kita berimajinasi sejenak. Bayangkan kampung kita bebas dari malaria. Anak-anak dapat bermain hingga sore tanpa khawatir digigit nyamuk. Para ibu tidak perlu cemas setiap kali musim hujan tiba. Anggaran desa tidak habis hanya untuk membeli insektisida.

Namun, imajinasi ini tidak akan datang dengan sendirinya. Kita harus memupuknya, dimulai dari obrolan santai di warung kopi, dari kebiasaan-kebiasaan kecil seperti menguras bak mandi, menutup tempat penampungan air, menanam sereh, atau sekadar saling mengingatkan.

Bayangkan jika sekolah-sekolah menjadi pusat edukasi tentang malaria. Anak-anak belajar tidak hanya dari buku, tetapi juga dari praktik langsung membersihkan lingkungan. Bayangkan jika masjid tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga pusat informasi kesehatan.

Namun, semua itu baru sebatas bayangan. Kita seringkali lebih tertarik untuk membayangkan kampung tetangga daripada membenahi halaman rumah sendiri.

Menyalakan Kembali Semangat Gotong Royong

Saya percaya bahwa desa memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh kota, yaitu semangat gotong royong. Namun, semangat ini, seperti lampu minyak, kadang padam tertiup angin zaman. Tugas kita adalah menyalakannya kembali.

Jangan hanya menunggu proyek pemerintah atau dana hibah. Mulailah dari diri sendiri, dari satu keluarga, dari satu RT.

Bangkitkan semangat melalui kegiatan bersama, seperti ronda malam sambil membawa senter untuk memeriksa genangan air. Atau adakan lomba kebersihan kampung, bukan hanya sekadar untuk lomba, tetapi untuk menanamkan budaya bersih dan sehat.

"Kampung kita ini ibarat tubuh," kata Pak Lurah suatu malam. "Jika satu bagian terkena malaria, yang lain juga akan merasakan demam."

Analogi ini sangat tepat. Warga yang sehat bukan hanya karena adanya rumah sakit megah, tetapi karena adanya kesadaran bersama.

Move On dari Malaria: Bukan Sekadar Candaan

Saya seringkali membuat status di media sosial, "Jika kamu sudah move on dari mantan, seharusnya kamu juga bisa move on dari malaria."

Seorang teman, Joko, membalas, "Mantan sih pergi, tapi nyamuknya masih tinggal di kampung gue."

Kita memang bangsa yang pandai bercanda dalam penderitaan. Namun, semoga suatu hari nanti, kita bisa bercanda bukan karena terpaksa, tetapi karena benar-benar sudah bebas dari malaria.

Mendengarkan Kembali: Kunci Solusi Berkelanjutan

Tahun ini, Hari Malaria Sedunia (25 April) mengusung tema yang menarik: Investasikan kembali. Bayangkan kembali. Nyalakan kembali.

Saya hanya ingin menambahkan satu hal: Dengarkan kembali.

Dengarkan suara warga, dengarkan logika nyamuk, dengarkan sinyal alam. Karena seringkali, solusi tidak datang dari seminar-seminar mewah, tetapi dari suara-suara kecil yang kita abaikan.

Jangan remehkan gigitan kecil. Karena sejarah juga pernah berubah oleh nyamuk. Tanyakan saja pada Napoleon.