Polemik Pemakzulan Wakil Presiden Gibran: Urgensi Kepatuhan Konstitusi dan Penguatan Sistem Presidensial

Menyoal Tuntutan Pemakzulan Wakil Presiden: Kepatuhan Konstitusi sebagai Pilar Utama

Polemik mengenai tuntutan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka oleh sekelompok purnawirawan TNI menjadi sorotan tajam. Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menekankan pentingnya kepatuhan terhadap konstitusi dalam menanggapi isu ini. Menurutnya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 telah mengatur secara rinci mekanisme pemberhentian atau pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal 7A UUD 1945 hasil amandemen ketiga secara eksplisit menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berat seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, serta jika tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Proses pemberhentian ini pun tidak sederhana, melainkan harus melalui usulan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI.

Bivitri Susanti menjelaskan bahwa Pasal 7B UUD 1945 secara jelas mengatur alur dari proses pemakzulan yang harus melewati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terlebih dahulu. Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

"Pertama, DPR harus semacam mendakwakan apa kesalahannya. Artinya, semua fraksi di DPR atau mayoritas fraksi DPR harus setuju. Kemudian, DPR kalau sudah setuju, 2/3 anggota setuju, mereka kirim ke MK," ujarnya.

MK akan memutuskan sesuai wewenang mereka di Pasal 24C ayat (2) UUD 1945. Jika MK menyatakan bahwa memang terjadi kesalahan menurut hukum, maka MK akan mengirim putusannya kepada DPR. Selanjutnya, DPR akan mengundang DPD untuk mengadakan sidang MPR dengan syarat dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota dan disetujui minimal 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Di MPR, keputusan akhir mengenai pemakzulan wakil presiden akan diambil berdasarkan kuorum yang telah ditentukan dalam UUD 1945.

Bivitri Susanti mencontohkan kasus pemakzulan Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, yang juga harus melalui putusan MK terlebih dahulu sebelum akhirnya dimakzulkan oleh parlemen. Hal ini menegaskan bahwa MPR tidak dapat langsung menjatuhkan hukuman pemakzulan tanpa adanya putusan dari MK.

Penguatan Sistem Presidensial: Pilar Demokrasi

Selain menaati konstitusi, Bivitri Susanti juga menyoroti pentingnya penguatan sistem presidensial dalam konteks pemakzulan presiden atau wakil presiden. Pasal 4 UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa Indonesia menganut sistem presidensial, di mana presiden sebagai kepala pemerintahan adalah juga kepala negara yang dipilih langsung oleh rakyat. Dalam sistem presidensial, kepala pemerintahan tidak dapat diturunkan di tengah masa jabatan secara semena-mena.

Bivitri Susanti menjelaskan bahwa Pasal 7A hasil amandemen ketiga UUD 1945 lahir untuk memperkuat sistem presidensial. Amandemen UUD 1945 bertujuan untuk membuat sistem presidensial di Indonesia lebih konsisten dan menghindari adanya elite di MPR yang dapat menaik-turunkan presiden seenaknya seperti di masa lalu. Mekanisme Pasal 7A dibuat untuk memastikan bahwa proses pemakzulan dilakukan secara transparan, akuntabel, dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Delapan Poin Tuntutan Forum Purnawirawan TNI-Polri

Sebelumnya, Forum Purnawirawan TNI-Polri telah mengusulkan kepada MPR RI untuk mencopot Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Tuntutan tersebut merupakan bagian dari delapan poin tuntutan Forum Purnawirawan TNI-Polri yang terdiri dari 103 purnawirawan jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel. Beberapa tokoh yang turut mendatangani usulan ini adalah Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi dan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) periode 1988-1993 Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno.

Berikut delapan poin tuntutan Forum Purnawirawan:

  • Kembali ke UUD 1945 asli sebagai Tata Hukum Politik dan Tata Tertib Pemerintahan
  • Mendukung Program Kerja Kabinet Merah Putih yang dikenal sebagai Asta Cita, kecuali untuk kelanjutan pembangunan IKN
  • Menghentikan PSN PIK 2, PSN Rempang, dan kasus-kasus yang serupa dikarenakan sangat merugikan dan menindas masyarakat, serta berdampak pada kerusakan lingkungan
  • Menghentikan tenaga kerja asing China yang masuk ke wilayah NKRI dan mengembalikan tenaga kerja China ke negara asalnya
  • Pemerintah wajib melakukan penertiban pengelolaan pertambangan yang tidak sesuai dengan aturan dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 2 dan Ayat 3
  • Melakukan reshuffle kepada para menteri yang sangat diduga telah melakukan kejahatan korupsi dan mengambil tindakan tegas kepada para pejabat dan aparat negara yang masih terikat dengan kepentingan mantan Presiden ke-7 RI Joko Widodo
  • Mengembalikan Polri pada fungsi Kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) di bawah Kemendagri
  • Mengusulkan pergantian Wakil Presiden kepada MPR karena keputusan MK terhadap Pasal 169 Huruf Q Undang-Undang Pemilu telah melanggar hukum acara MK dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.