OJK Intensifkan Uji Stres Perbankan di Tengah Bayang-Bayang Kebijakan Tarif AS

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meningkatkan frekuensi dan cakupan uji stres terhadap sektor perbankan nasional. Langkah ini diambil sebagai antisipasi terhadap potensi dampak dari kebijakan tarif yang diterapkan oleh Amerika Serikat, serta fluktuasi nilai tukar rupiah yang berkelanjutan.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyatakan bahwa uji stres dilakukan secara berkala dan insidentil untuk memantau ketahanan perbankan terhadap berbagai skenario ekonomi yang tidak menguntungkan. "OJK secara proaktif melakukan stress test untuk mengukur dampak perubahan kondisi ekonomi global dan domestik, termasuk pengaruh kebijakan tarif impor AS dan volatilitas nilai tukar terhadap kinerja perbankan," ujarnya.

Hasil pengawasan menunjukkan bahwa rasio permodalan (CAR) perbankan saat ini berada pada level yang solid. Hal ini memberikan bantalan yang cukup untuk menyerap potensi peningkatan risiko kredit, risiko pasar, dan risiko likuiditas.

Pada Februari 2025, intermediasi perbankan menunjukkan stabilitas dengan profil risiko yang terjaga. Tingkat kredit bermasalah (NPL) gross tercatat sebesar 2,22% dan NPL net sebesar 0,81%, sementara Loan at Risk (LaR) berada di level 9,77%.

Pertumbuhan kredit perbankan tetap solid, mencatatkan angka double digit sebesar 10,30% secara tahunan, mencapai Rp 7.825 triliun. Kredit investasi menjadi kontributor utama pertumbuhan, meningkat sebesar 14,62%, diikuti oleh kredit konsumsi sebesar 10,31%, dan kredit modal kerja sebesar 7,66%.

"Bank BUMN menjadi motor utama pertumbuhan kredit dengan ekspansi sebesar 10,93% year on year. Berdasarkan kategori debitur, kredit korporasi tumbuh signifikan sebesar 15,95%, sementara kredit UMKM tumbuh sebesar 2,51%," jelas Dian.

OJK juga menekankan pentingnya bagi perbankan untuk secara proaktif melakukan asesmen terhadap perkembangan ekonomi global dan domestik. Bank-bank diminta untuk mempersiapkan langkah-langkah mitigasi yang diperlukan untuk mengantisipasi dampak yang mungkin timbul.

Selain itu, OJK terus berupaya memperkuat fondasi sistem keuangan melalui pendalaman pasar keuangan. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan ketahanan dan efisiensi intermediasi perbankan di tengah gejolak global yang terus berlangsung.

Di tengah dinamika perekonomian global yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kebijakan tarif AS, potensi perlambatan ekspor-impor, dan fluktuasi nilai tukar, perbankan syariah menunjukkan resiliensi yang baik terhadap efek rambatan yang mungkin terjadi.

Secara umum, perbankan syariah memiliki eksposur risiko pasar yang lebih rendah dibandingkan perbankan konvensional. Hal ini memungkinkan perbankan syariah untuk berperan sebagai penopang stabilitas dalam sistem keuangan nasional.

Namun demikian, perbankan syariah tetap perlu mewaspadai dan melakukan mitigasi risiko terhadap dampak kebijakan tarif yang dapat mempengaruhi kinerja debitur tertentu.

"OJK mendorong perbankan syariah untuk meningkatkan awareness terhadap perkembangan makroekonomi global dan domestik. Bank-bank syariah juga diminta untuk secara konsisten menerapkan manajemen risiko sesuai ketentuan yang berlaku, termasuk melakukan asesmen lanjutan terhadap debitur yang memiliki eksposur pada sektor terdampak, serta melakukan mitigasi lebih dini terhadap potensi risiko yang mungkin timbul dari kebijakan tarif. Perbankan syariah juga harus proaktif mencari peluang yang muncul dari kondisi saat ini," pungkas Dian.